Hi
readers! Welcome to my blog (again), for the twice, third, fourth, fifth, and
thousand times! Kali ini yang akan ku bahas bukan film,
bukan. Masih memiliki alur cerita, masih diperankan tokoh, masih juga
mengandung pesan dan makna. Ini semacam naskah monolog yang dipresentasikan
dalam bentuk drama. Meskipun agak berbeda dengan film, dan sejujurnya aku pun
dibuat agak bingung karena harus me-review-nya,
tapi akan kucoba.
Naskah monolog berjudul “Anak Kabut” ini
ditulis oleh Soni Farid Maulana, dan dipentaskan di atas panggung dengan sangat
memukau oleh Ricilia Ryan Putri. Pada awalnya kukira ini adalah cerita tentang anak-anak
korban asap di Indonesia, berhubung pementasan ini dilakukan saat bencana asap
sedang sangat gencar dibicarakan. Namun ternyata, kata “kabut” dalam judul
monolog ini memiliki arti yang sangat dalam dari yang kukira. Haha. Tentu saja.
Oke, sekarang dengarkan aku. Tulisanku tidak akan begitu panjang kali ini, jadi
nikmatilah.
Pementasan dimulai dengan sedikit alunan
musik yang mengayun dengan tenang, setting
panggung seperti sebuah kamar dengan kasur, meja rias, rak-rak, dan benda-benda
yang memang semestinya berada di kamar. Lighting
fokus terhadap pintu masuk hingga tiba-tiba keluar seorang wanita dengan
pakaian santai dan minim ala wanita rumahan yang sepertinya baru saja selesai
mandi. Jujur pada saat itu aku cukup kaget. Saat itu kami menonton di
auditorium fakultas, di situ bukan hanya ada aku, tapi kami. Jamak. Laki-laki
dan perempuan. Kami semua menontonnya dan jelas melihatnya dengan pakaian minim
itu.
Sampai di situ penonton sudah mulai
berbisik berkomentar dan memperlihatkan ekspresi yang bermacam-macam. Mungkin
mereka satu pikiran denganku, bahwa pentas ini cukup “gila”. Namun saat itu aku
sadar bahwa yang kutonton adalah seni, pasti ada sesuatu yang tak kuketahui
dibalik mengapa wanita itu memakai pakaian seperti itu, dengan santai, di atas
panggung pementasan.
Selanjutnya dia menatap cerminnya. Ya,
kita juga sering mempraktekannya: mandi lalu bercermin. Iya bukan? Namun
uniknya, cermin itu dibuat tidak ada kacanya (bingkai saja) dan di hadapkan ke audience, seakan-akan kami adalah
cerminnya. Saat itu kupikir, hebat juga dia memoles-moles wajahnya tanpa
benar-benar berkaca. Akting-nya
sangat cerdas, menurutku.
Bila kuingat, dia baru mulai bermonolog
saat itu. Memulai monolognya dengan racauan aneh merengek minta di buatkan tato
bergambar naga di kedua belah payudaranya. Aneh bukan? Akupun kebingungan dan
bahkan saat ini aku sangat risih menulisnya di blog-ku. Dia terus bermonolog seakan-akan ada orang di situ, dan sepertinya
orang itu melarangnya untuk membuat tato di tubuhnya. Aku tak begitu paham,
tapi itulah yang terjadi menurut persepsiku.
Dia terus bermonolog. Saat itu kudengar
dia mulai mengeluhkan masalah pemerintah. Sambil membereskan kamarnya dan
kembali bercermin, dia masih berbicara dan menyibukkan diri. Dia bercerita
tentang pembunuhan kekasihnya di Bulan Mei 1998. Kekasihnya adalah seorang
buruh bangunan, padahal lelaki itu sarjana lulusan universitas ternama. Orang
bilang lelaki itu mati dibakar hidup-hidup dalam sebuah bangunan bersama banyak
orang lain. Sang penguasa lah yang membakarnya. Meskipun begitu, lebih pahit,
para penguasa itu masih bebas-bebas saja menikmati indahnya dunia semu.
Sudah
menjadi rahasia umum negeri ini untuk menjelaskan apa yang terjadi 17 tahun
silam. Kepahitan yang ada, yang mungkin juga dirasakan sampai sangat membekas
oleh wanita ini. Selain kekasihnya yang dibunuh, dia juga menjadi korban
perkosaan. Sungguh keji. Sangat jelas baginya bagaimana rasanya kehilangan dan
rasanya diperlakukan secara tidak manusiawi oleh orang-orang yang entah
berperasaan atau tidak. Bahkan entah manusia atau bukan.
Dia sempat memperlihatkan bagaimana dia
berdansa dengan kekasihnya dengan iringan lagu yang diciptakan oleh kekasihnya
juga. Kukira dia benar-benar mencintai kekasihnya saat pembunuhan itu terjadi.
Itu juga salah satu penyebab mengapa sampai sekarang dia belum bisa berpindah
ke lain hati. Bahkan mungkin enggan mencintai lagi. Entahlah, aku tak bisa
menjabarkannya dalam kata-kata. Perasaan yang kompleks.
Di detik-detik akhir pementasan,
seseorang meneleponnya. Seorang teman yang sepertinya sudah membuat janji
dengannya. Setelah itu dia langsung bersiap dan bicara di depan cermin, “aku
berharap, seberapapun sakit yang aku rasakan di dunia, akan menjadi balasan
untuk ku bahagia di akhirat nanti.” Begitulah akhirnya dia bangkit dan bergegas,
juga berbarengan dengan berakhirnya pentas ini. Menutup buku kenangan
rapat-rapat, yang suatu saat entah karena apa sudah terbuka lagi dan
menghantuinya.
Setelah pementasan berakhir, aku jadi
teringkat kembali judul naskah ini. Si anak kabut yang dimaksud, dengan wanita
yang bermonolog tadi. Apa hubungannya? Ternyata kabut yang dimaksud di sini adalah
masalah si tokoh. Kabut itu datang dan pergi tanpa ada yang menyadari. “Ga ada
yang tau kabut secara utuh” jelas sang sutradara, Gustri Yurizal. Jadi, wanita
ini hidup terombang-ambing, bingung mau melakukan apa, dan itu terjadi ketika semua
kenangan buruk itu datang. Namun setelah itu, dia akan menjalani hidup lagi
seperti biasa. Dan begitulah berlangsung selama ini semenjak 17 tahun yang
lalu.
Dari naskah monolog dan pementasan yang
kutonton, lagi-lagi sama seperti menonton film, banyak sekali pesan yang
kudapatkan. Seperti yang kita tahu bahwa kemungkinan besar wanita ini mengalami
perubahan biologis dan psikis pasca peristiwa mengerikan itu. Dan itu menjadi
salah satu yang menyebabkan dia seperti ini sampai sekarang. Belum bisa move on, masih terbayang-bayang, bahkan
terlarut dalam kenangan.
Namun, dari apa yang terjadi, wanita ini
belajar dan sadar betul bahwa dialah penentu tindakan, dan dia bertanggung
jawab atas dirinya. Yang bisa merubah dia dan hidupnya, siapa lagi jika bukan
dia. Dari sini juga aku belajar bahwa masa lalu tidak akan pernah hilang. Meski
dicoba untuk dilupakan pun, masa lalu akan tetap hadir. Jadi satu-satunya hal
yang bisa menekannya semakin dalam adalah membuat masa lalu baru. Tentu dengan cara “living your life”. Bukan hanya hidup dan menunggu malaikat pencabut
nyawa, tapi hidup yang dijalani dengan prinsip moving forward. Entah itu berlari, berjalan, merangkak, apapun. Keep moving forward.
Ada satu lagi. Ini sudah sangat sering
diucapkan oleh kebanyakan orang, tapi memang ini benar. Tuhan tidak akan
memberikan cobaan di atas kemampuan hamba-Nya. Itu yang kuingat saat menyelami
kisah hidup wanita si anak kabut ini. Sungguh. Aku percaya dan semakin percaya
bahwa ada yang Maha Kuasa di atas manusia, ada tangan Tuhan yang selalu sigap
menolong. Jadi, lihat bagaimana Tuhan dengan kuasa-Nya membuat anak kabut ini
tetap hidup meski dalam remang-remang masa lalu yang kelam. Menakjubkanmu?
Jawabannya, YA bagiku.