Translate

Rabu, 04 November 2015

Anak Kabut"Craziest" Monologue Ever!



Hi readers! Welcome to my blog (again), for the twice, third, fourth, fifth, and thousand times! Kali ini yang akan ku bahas bukan film, bukan. Masih memiliki alur cerita, masih diperankan tokoh, masih juga mengandung pesan dan makna. Ini semacam naskah monolog yang dipresentasikan dalam bentuk drama. Meskipun agak berbeda dengan film, dan sejujurnya aku pun dibuat agak bingung karena harus me-review-nya, tapi akan kucoba.

Naskah monolog berjudul “Anak Kabut” ini ditulis oleh Soni Farid Maulana, dan dipentaskan di atas panggung dengan sangat memukau oleh Ricilia Ryan Putri. Pada awalnya kukira ini adalah cerita tentang anak-anak korban asap di Indonesia, berhubung pementasan ini dilakukan saat bencana asap sedang sangat gencar dibicarakan. Namun ternyata, kata “kabut” dalam judul monolog ini memiliki arti yang sangat dalam dari yang kukira. Haha. Tentu saja. Oke, sekarang dengarkan aku. Tulisanku tidak akan begitu panjang kali ini, jadi nikmatilah.

Pementasan dimulai dengan sedikit alunan musik yang mengayun dengan tenang, setting panggung seperti sebuah kamar dengan kasur, meja rias, rak-rak, dan benda-benda yang memang semestinya berada di kamar. Lighting fokus terhadap pintu masuk hingga tiba-tiba keluar seorang wanita dengan pakaian santai dan minim ala wanita rumahan yang sepertinya baru saja selesai mandi. Jujur pada saat itu aku cukup kaget. Saat itu kami menonton di auditorium fakultas, di situ bukan hanya ada aku, tapi kami. Jamak. Laki-laki dan perempuan. Kami semua menontonnya dan jelas melihatnya dengan pakaian minim itu.

Sampai di situ penonton sudah mulai berbisik berkomentar dan memperlihatkan ekspresi yang bermacam-macam. Mungkin mereka satu pikiran denganku, bahwa pentas ini cukup “gila”. Namun saat itu aku sadar bahwa yang kutonton adalah seni, pasti ada sesuatu yang tak kuketahui dibalik mengapa wanita itu memakai pakaian seperti itu, dengan santai, di atas panggung pementasan.

Selanjutnya dia menatap cerminnya. Ya, kita juga sering mempraktekannya: mandi lalu bercermin. Iya bukan? Namun uniknya, cermin itu dibuat tidak ada kacanya (bingkai saja) dan di hadapkan ke audience, seakan-akan kami adalah cerminnya. Saat itu kupikir, hebat juga dia memoles-moles wajahnya tanpa benar-benar berkaca. Akting-nya sangat cerdas, menurutku.

Bila kuingat, dia baru mulai bermonolog saat itu. Memulai monolognya dengan racauan aneh merengek minta di buatkan tato bergambar naga di kedua belah payudaranya. Aneh bukan? Akupun kebingungan dan bahkan saat ini aku sangat risih menulisnya di blog-ku. Dia terus bermonolog seakan-akan ada orang di situ, dan sepertinya orang itu melarangnya untuk membuat tato di tubuhnya. Aku tak begitu paham, tapi itulah yang terjadi menurut persepsiku.

Dia terus bermonolog. Saat itu kudengar dia mulai mengeluhkan masalah pemerintah. Sambil membereskan kamarnya dan kembali bercermin, dia masih berbicara dan menyibukkan diri. Dia bercerita tentang pembunuhan kekasihnya di Bulan Mei 1998. Kekasihnya adalah seorang buruh bangunan, padahal lelaki itu sarjana lulusan universitas ternama. Orang bilang lelaki itu mati dibakar hidup-hidup dalam sebuah bangunan bersama banyak orang lain. Sang penguasa lah yang membakarnya. Meskipun begitu, lebih pahit, para penguasa itu masih bebas-bebas saja menikmati indahnya dunia semu.

 Sudah menjadi rahasia umum negeri ini untuk menjelaskan apa yang terjadi 17 tahun silam. Kepahitan yang ada, yang mungkin juga dirasakan sampai sangat membekas oleh wanita ini. Selain kekasihnya yang dibunuh, dia juga menjadi korban perkosaan. Sungguh keji. Sangat jelas baginya bagaimana rasanya kehilangan dan rasanya diperlakukan secara tidak manusiawi oleh orang-orang yang entah berperasaan atau tidak. Bahkan entah manusia atau bukan.

Dia sempat memperlihatkan bagaimana dia berdansa dengan kekasihnya dengan iringan lagu yang diciptakan oleh kekasihnya juga. Kukira dia benar-benar mencintai kekasihnya saat pembunuhan itu terjadi. Itu juga salah satu penyebab mengapa sampai sekarang dia belum bisa berpindah ke lain hati. Bahkan mungkin enggan mencintai lagi. Entahlah, aku tak bisa menjabarkannya dalam kata-kata. Perasaan yang kompleks.

Di detik-detik akhir pementasan, seseorang meneleponnya. Seorang teman yang sepertinya sudah membuat janji dengannya. Setelah itu dia langsung bersiap dan bicara di depan cermin, “aku berharap, seberapapun sakit yang aku rasakan di dunia, akan menjadi balasan untuk ku bahagia di akhirat nanti.” Begitulah akhirnya dia bangkit dan bergegas, juga berbarengan dengan berakhirnya pentas ini. Menutup buku kenangan rapat-rapat, yang suatu saat entah karena apa sudah terbuka lagi dan menghantuinya.

Setelah pementasan berakhir, aku jadi teringkat kembali judul naskah ini. Si anak kabut yang dimaksud, dengan wanita yang bermonolog tadi. Apa hubungannya? Ternyata kabut yang dimaksud di sini adalah masalah si tokoh. Kabut itu datang dan pergi tanpa ada yang menyadari. “Ga ada yang tau kabut secara utuh” jelas sang sutradara, Gustri Yurizal. Jadi, wanita ini hidup terombang-ambing, bingung mau melakukan apa, dan itu terjadi ketika semua kenangan buruk itu datang. Namun setelah itu, dia akan menjalani hidup lagi seperti biasa. Dan begitulah berlangsung selama ini semenjak 17 tahun yang lalu.

Dari naskah monolog dan pementasan yang kutonton, lagi-lagi sama seperti menonton film, banyak sekali pesan yang kudapatkan. Seperti yang kita tahu bahwa kemungkinan besar wanita ini mengalami perubahan biologis dan psikis pasca peristiwa mengerikan itu. Dan itu menjadi salah satu yang menyebabkan dia seperti ini sampai sekarang. Belum bisa move on, masih terbayang-bayang, bahkan terlarut dalam kenangan.

Namun, dari apa yang terjadi, wanita ini belajar dan sadar betul bahwa dialah penentu tindakan, dan dia bertanggung jawab atas dirinya. Yang bisa merubah dia dan hidupnya, siapa lagi jika bukan dia. Dari sini juga aku belajar bahwa masa lalu tidak akan pernah hilang. Meski dicoba untuk dilupakan pun, masa lalu akan tetap hadir. Jadi satu-satunya hal yang bisa menekannya semakin dalam adalah membuat masa lalu baru. Tentu  dengan cara “living your life”. Bukan hanya hidup dan menunggu malaikat pencabut nyawa, tapi hidup yang dijalani dengan prinsip moving forward. Entah itu berlari, berjalan, merangkak, apapun. Keep moving forward.

Ada satu lagi. Ini sudah sangat sering diucapkan oleh kebanyakan orang, tapi memang ini benar. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan hamba-Nya. Itu yang kuingat saat menyelami kisah hidup wanita si anak kabut ini. Sungguh. Aku percaya dan semakin percaya bahwa ada yang Maha Kuasa di atas manusia, ada tangan Tuhan yang selalu sigap menolong. Jadi, lihat bagaimana Tuhan dengan kuasa-Nya membuat anak kabut ini tetap hidup meski dalam remang-remang masa lalu yang kelam. Menakjubkanmu? Jawabannya, YA bagiku.