I have about 3 movies to
watch, and I pick this one.
Hello. It’s me again.
Akhir semester hampir tiba dan kupikir ini tugas terakhir untuk mata kuliah
ini. Ya, kuharap. Haha sama seperti pos-pos sebelumnya, setelah aku selesai berusaha
keras ber-“pedekate” ria dengan berusaha me-review penampilan drama monolog, sekarang
yang akan kuceritakan (kembali ke path
awal) adalah film, dan segala yang ada
di dalamnya. Maksudku, ini bukan hanya tentang cerita, tapi esensi.
Oke, aku ingat saat itu aku sedang
sakit dan absen dari kelas. Lalu tiba-tiba temanku berkata “Kita harus review
film lagi. Ada tiga. Filmnya ada di aku kalau kamu mau minta.”. Haha. What a
big surprise! Kang Zein memang selalu penuh dengan kejutan. Satu hal yang
menggembirakan adalah, setelah lama film itu diberikan kepada kami, baru
sekarang tugas untuk me-reviewnya tiba. (P.s: sebenarnya kami malah berharap
Kang Zein lupa pernah memberi film untuk di review haha).
Oh iya. Biar kujelaskan bahwa tugas
ini mengharuskan kita mereview salah satu film, bukan ketiganya. Tapi untuk itu,
kita harus menonton ketiganya dulu, bukan? Maka setelah kutonton, aku memilih
untuk mereview film ini. Sebut saja, Front
of The Class. Saat membaca judulnya, aku tak membayangkan filmnya akan
seperti itu. It was just like…higher than
my expectation. Film ini entah mengapa membuatku sangat ingin bertemu
dengan Brad Cohen.
Jika kalian tanya mengapa aku
memilih film ini dibanding 2 film lainnya, jawabannya adalah karena film ini
mengajarkanku banyak hal. Bukan hanya karena filmnya seru, bukan. Tidak
terbatas sampai di situ. Ini benar-benar seperti cambukan tentang mimpi, pengajar,
cara mengajar, dan sistem pembelajaran. Membukakan mata kita bahwa belajar
tidak se-rigid itu. Seluruhnya sangat fleksibel. Dan sesungguhnya penghargaan
di mata manusia selama ini sudah cukup melenceng. Penghargaan dilihat dari
gelar, bukan apa yang dia lakukan setelah mendapat tanggung jawab dari gelar
itu. Haha too funny, everyone!
Well readers, let’s go back to the film.
Skenario film ini dibuat oleh Tom Rickman, berdasarkan novel yang dibuat
langsung oleh sang pengidap Tourette dengan judul yang sama. Mungkin itu juga
yang membuat film ini sangat hidup karena cerita tentang Tourette sudah
dijelaskan secara detail oleh Brad Cohen di novelnya. Belum lagi film ini juga
mempunyai direktor yang hebat, Peter Werner. Semua cast nampak sangat cocok dengan perannya.
Film ini diawali dengan kehidupan
kecil Brad yang bisa dibilang tak memiliki tempat di manapun. Sejak 6 tahun, ia
di-bully oleh teman-temannya, dan
juga selalu dianggap mengganggu kelas oleh para guru. Awalnya kupikir keluarga
pasti mengerti keadaannya, namun ternyata tidak sepenuhnya. Sang ayah, Norman,
juga selalu menganggap Brad membuat kekonyolan. Norman bahkan pernah membentak
Brad sehabis pertandingan bisbol, dan itu membuat seluruh pengunjung menatap
mereka. Semua menganggap Brad mencoba menjadi badut, namun Brad selalu
meyakinkan mereka bahwa ia tidak dapat menahan suara-suara aneh yang keluar
dari mulutnya sendiri.
Tetapi, dibalik itu semua ada satu
orang yang selalu menemani Brad. Ellen (Ny. Cohen), ibu kandung Brad selalu
berusaha untuk sabar dan memahami anaknya. Ia mencoba membawa Brad ke dokter,
namun tak ada satupun yang berhasil. Sampai akhirnya suatu hari Brad
dikeluarkan dari sekolah, Ellen pun menjadi sangat kesal dan semakin penasaran
dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Brad.
Ia
mencari banyak buku medis tentang penyakit mental dan menemukan satu sindrom
dengan ciri-ciri yang sama seperti yang nampak pada Brad. Saat itulah mereka
tahu bahwa Brad mengalami Tourette sindrom. Tourette sindrom adalah gangguan
neurologis dimana otak mengirimkan sinyal untuk tubuh. Ini seperti bersin. Tak
tertahankan. Satu hal yang membuat Ellen sangat terpukul adalah, Tourette syndrome has no cure. Namun,
Ellen meyakini satu hal: jika tidak ada obatnya, mungkin ada cara untuk hidup
normal.
Pernah suatu hari Ellen membawa Brad
ke gereja, di sana para penderita Tourette berkumpul. Awalnya Ellen berfikir
bahwa itu adalah ide yang bagus, sampai mereka masuk dan melihat bahwa di sana
adalah tempat para penderita Tourette menyerah. Really. They have no hope. They have no place. Mereka membiarkan
Tourette menang. Namun itulah yang membuat Brad mendapat suatu falsafah untuk
hidup, yap, diumurnya yang saat itu adalah 12 tahun. Brad yakin bahwa dia harus
menghadapi setiap kesulitan. Luar biasa.
Ada suatu kejadian menarik yang
pernah terjadi pada Brad. Yaitu saat ia lulus ke sekolah menengah. Kelas baru,
guru baru, dan teman baru tentu bukanlah hal yang mudah baginya. Seperti biasa,
ia dianggap pengganggu. Bahkan sang guru menyuruh ia untuk menghadap kepala
sekolah. The principal, Mr.Myer (Mike
Pniewski), menghadapi Brad dengan santai. Ia meminta Brad menghadiri konser orchestra
sekolah, meskipun Brad sudah meyakininya bahwa suara anehnya akan mengganggu
konser. But readers, Mr.Myer knows what
to do!
Akhirnya Brad menghadiri konser
tersebut, dan benar saja, Tourette-nya sangat mengganggu. Saat pertunjukkan
selesai, Mr.Myer meminta Brad maju ke depan. Well, this is a nice part I think. Mr.Myer bertanya pada Brad
tentang “kelakuan anehnya” itu, di atas panggung, di hadapan seluruh penonton
konser. Dan inilah jawaban Brad yang membuatku tertegun, seperti orang-orang
yang ada di ruangan konser saat itu.
“I
don’t like making noises anymore than you like hearing now. It’s even worse
when I get stress, when you don’t accept that I can’t stop them. But when I feel
accepted, that will not so bad. I just wanna be treated like anybody else.”
Sejak saat itu, ia merasa seperti
membuka pintu untuk dunia baru. Disitulah Brad memutuskan bahwa ia ingin
menjadi guru. Guru yang memungkinkan anak-anak belajar, meskipun mereka berbeda. Semakin dewasa, Brad semakin menyadari
bahwa Tourette ini sudah menjadi temannya sejak kecil. Namun ia tidak pernah
mau membiarkan apapun menghalangi mimpinya. Ia tetap dan selalu ingin menjadi
seorang guru. Ia melamar pekerjaan kemana-mana. Trial and error. Sampai akhirnya ia menemukan Montain View
Elementary School. You know what? He is
accepted!!
Dia mulai mengajar di kelas 2. Dan perlu
ku katakan bahwa murid-muridnya sangat membuatku iri. Omg. I wish that I could have a teacher like that! Haha tapi aku
juga sangat ingin bertemu Heather, Amanda, Thomas, Henry, Eli, semua. Mereka
dan Brad sangat menyentuh. Terutama Heather, aku harap dia bisa muncul lebih
lama dalam film. I cried, really. Haha.
Oh ya. Banyak sekali perubahan yang terjadi semenjak Brad mengajar. Terutama pada
Thomas. Tak ada satu pun guru yang berhasil mengurusnya, tapi Brad berhasil. Sangat,
menurutku. Brad juga membuat pelajaran geografi menjadi sangat menyenangkan
karena Maxine’s Big Red. Genius!
Oya readers. Selain orangtua, sekolah,
dan anak-anak, ada dua orang lagi yang ingin ku ceritakan. Dan menurutku mereka
sangat berpengaruh bagi Brad. Yang pertama, ada Jeff, adik Brad. Mereka sering
berlomba, bertarung, bercanda, apapun. Namun mereka saling menyayangi. Jeff
sangat perduli pada kakaknya. Dan satu orang lagi adalah Nancy Keene. Wanita yang
dikenal Brad melalui Couple Connect, semacam tempat bagi kencan online. Tapi,
siapa tahu? Mereka sangat cocok. Dalam kenyataannya Brad dan Nancy bahkan telah
menikah pada 2006. Oh God!
Oke. Sudah selesaikah keajaiban dalam
hidup Brad? Belum. Suatu saat ada pengamat dari State of Georgia, beliau
mengamati seluruh pendidik baru se-Georgia, termasuk Brad. Dan hasilnya, Brad
terpilih sebagai pendidik baru di Negara bagian Georgia tahun pertama, pada
penghargaan Sallie Mae sebagai “Teacher of the Year”. Sebuah lompatan besar
baginya untuk membuktikan hasil dari seluruh usaha dan kesabarannya, bukti pada
ayahnya, sekolahnya, dan seluruh pimpinan sekolah yang pernah menolak Brad
mentah-mentah saat interview. They’ve
thrown away a big bright gold! Satu lagi, Brad juga berhasil mewujudkan
satu mimpi konyolnya lagi, menjadi “Homer”, Atlanta Braves Mascott. Hahaha lot of applause for you, Brad!
Readers, sepertinya kita sudah sampai di
penghujung pos. Hehe. Aku sudah menceritakan panjang lebar tentang film ini. Berharap
kalian juga mendapatkan esensi yang sama, karena aku mendapat value sangat banyak setelah menontonnya.
Satu kalimat favoritku dari seorang Brad Cohen adalah, “Never let anything to stop you from chasing your dream, from working,
or playing, or falling love.”. Oh ya! Aku juga me-review film ini agar kita
bisa sama-sama menjadi lebih “on fire”.
Untuk apa? Yaitu…untuk menghadapi beberapa hari lagi menuju 2016. So, all I wanna say is have a really nice
new year everyone! ME, love you myvisitors! xoxo