Translate

Minggu, 13 Desember 2015

In "Front of the Class", i can find everything!



I have about 3 movies to watch, and I pick this one.
Hello. It’s me again. Akhir semester hampir tiba dan kupikir ini tugas terakhir untuk mata kuliah ini. Ya, kuharap. Haha sama seperti pos-pos sebelumnya, setelah aku selesai berusaha keras ber-“pedekate” ria dengan berusaha me-review penampilan drama monolog, sekarang yang akan kuceritakan (kembali ke path awal)  adalah film, dan segala yang ada di dalamnya. Maksudku, ini bukan hanya tentang cerita, tapi esensi.

            Oke, aku ingat saat itu aku sedang sakit dan absen dari kelas. Lalu tiba-tiba temanku berkata “Kita harus review film lagi. Ada tiga. Filmnya ada di aku kalau kamu mau minta.”. Haha. What a big surprise! Kang Zein memang selalu penuh dengan kejutan. Satu hal yang menggembirakan adalah, setelah lama film itu diberikan kepada kami, baru sekarang tugas untuk me-reviewnya tiba. (P.s: sebenarnya kami malah berharap Kang Zein lupa pernah memberi film untuk di review haha).

            Oh iya. Biar kujelaskan bahwa tugas ini mengharuskan kita mereview salah satu film, bukan ketiganya. Tapi untuk itu, kita harus menonton ketiganya dulu, bukan? Maka setelah kutonton, aku memilih untuk mereview film ini. Sebut saja, Front of The Class. Saat membaca judulnya, aku tak membayangkan filmnya akan seperti itu. It was just like…higher than my expectation. Film ini entah mengapa membuatku sangat ingin bertemu dengan Brad Cohen.

            Jika kalian tanya mengapa aku memilih film ini dibanding 2 film lainnya, jawabannya adalah karena film ini mengajarkanku banyak hal. Bukan hanya karena filmnya seru, bukan. Tidak terbatas sampai di situ. Ini benar-benar seperti cambukan tentang mimpi, pengajar, cara mengajar, dan sistem pembelajaran. Membukakan mata kita bahwa belajar tidak se-rigid itu. Seluruhnya sangat fleksibel. Dan sesungguhnya penghargaan di mata manusia selama ini sudah cukup melenceng. Penghargaan dilihat dari gelar, bukan apa yang dia lakukan setelah mendapat tanggung jawab dari gelar itu. Haha too funny, everyone!

            Well readers, let’s go back to the film. Skenario film ini dibuat oleh Tom Rickman, berdasarkan novel yang dibuat langsung oleh sang pengidap Tourette dengan judul yang sama. Mungkin itu juga yang membuat film ini sangat hidup karena cerita tentang Tourette sudah dijelaskan secara detail oleh Brad Cohen di novelnya. Belum lagi film ini juga mempunyai direktor yang hebat, Peter Werner. Semua cast nampak sangat cocok dengan perannya.

            Film ini diawali dengan kehidupan kecil Brad yang bisa dibilang tak memiliki tempat di manapun. Sejak 6 tahun, ia di-bully oleh teman-temannya, dan juga selalu dianggap mengganggu kelas oleh para guru. Awalnya kupikir keluarga pasti mengerti keadaannya, namun ternyata tidak sepenuhnya. Sang ayah, Norman, juga selalu menganggap Brad membuat kekonyolan. Norman bahkan pernah membentak Brad sehabis pertandingan bisbol, dan itu membuat seluruh pengunjung menatap mereka. Semua menganggap Brad mencoba menjadi badut, namun Brad selalu meyakinkan mereka bahwa ia tidak dapat menahan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya sendiri.

            Tetapi, dibalik itu semua ada satu orang yang selalu menemani Brad. Ellen (Ny. Cohen), ibu kandung Brad selalu berusaha untuk sabar dan memahami anaknya. Ia mencoba membawa Brad ke dokter, namun tak ada satupun yang berhasil. Sampai akhirnya suatu hari Brad dikeluarkan dari sekolah, Ellen pun menjadi sangat kesal dan semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Brad.

Ia mencari banyak buku medis tentang penyakit mental dan menemukan satu sindrom dengan ciri-ciri yang sama seperti yang nampak pada Brad. Saat itulah mereka tahu bahwa Brad mengalami Tourette sindrom. Tourette sindrom adalah gangguan neurologis dimana otak mengirimkan sinyal untuk tubuh. Ini seperti bersin. Tak tertahankan. Satu hal yang membuat Ellen sangat terpukul adalah, Tourette syndrome has no cure. Namun, Ellen meyakini satu hal: jika tidak ada obatnya, mungkin ada cara untuk hidup normal.

            Pernah suatu hari Ellen membawa Brad ke gereja, di sana para penderita Tourette berkumpul. Awalnya Ellen berfikir bahwa itu adalah ide yang bagus, sampai mereka masuk dan melihat bahwa di sana adalah tempat para penderita Tourette menyerah. Really. They have no hope. They have no place. Mereka membiarkan Tourette menang. Namun itulah yang membuat Brad mendapat suatu falsafah untuk hidup, yap, diumurnya yang saat itu adalah  12 tahun. Brad yakin bahwa dia harus menghadapi setiap kesulitan. Luar biasa.

            Ada suatu kejadian menarik yang pernah terjadi pada Brad. Yaitu saat ia lulus ke sekolah menengah. Kelas baru, guru baru, dan teman baru tentu bukanlah hal yang mudah baginya. Seperti biasa, ia dianggap pengganggu. Bahkan sang guru menyuruh ia untuk menghadap kepala sekolah. The principal, Mr.Myer (Mike Pniewski), menghadapi Brad dengan santai. Ia meminta Brad menghadiri konser orchestra sekolah, meskipun Brad sudah meyakininya bahwa suara anehnya akan mengganggu konser. But readers, Mr.Myer knows what to do!

Akhirnya Brad menghadiri konser tersebut, dan benar saja, Tourette-nya sangat mengganggu. Saat pertunjukkan selesai, Mr.Myer meminta Brad maju ke depan. Well, this is a nice part I think. Mr.Myer bertanya pada Brad tentang “kelakuan anehnya” itu, di atas panggung, di hadapan seluruh penonton konser. Dan inilah jawaban Brad yang membuatku tertegun, seperti orang-orang yang ada di ruangan konser saat itu.

“I don’t like making noises anymore than you like hearing now. It’s even worse when I get stress, when you don’t accept that I can’t stop them. But when I feel accepted, that will not so bad. I just wanna be treated like anybody else.”

Sejak saat itu, ia merasa seperti membuka pintu untuk dunia baru. Disitulah Brad memutuskan bahwa ia ingin menjadi guru. Guru yang memungkinkan anak-anak belajar, meskipun  mereka berbeda. Semakin dewasa, Brad semakin menyadari bahwa Tourette ini sudah menjadi temannya sejak kecil. Namun ia tidak pernah mau membiarkan apapun menghalangi mimpinya. Ia tetap dan selalu ingin menjadi seorang guru. Ia melamar pekerjaan kemana-mana. Trial and error. Sampai akhirnya ia menemukan Montain View Elementary School. You know what? He is accepted!!

Dia mulai mengajar di kelas 2. Dan perlu ku katakan bahwa murid-muridnya sangat membuatku iri. Omg. I wish that I could have a teacher like that! Haha tapi aku juga sangat ingin bertemu Heather, Amanda, Thomas, Henry, Eli, semua. Mereka dan Brad sangat menyentuh. Terutama Heather, aku harap dia bisa muncul lebih lama dalam film. I cried, really. Haha. Oh ya. Banyak sekali perubahan yang terjadi semenjak Brad mengajar. Terutama pada Thomas. Tak ada satu pun guru yang berhasil mengurusnya, tapi Brad berhasil. Sangat, menurutku. Brad juga membuat pelajaran geografi menjadi sangat menyenangkan karena Maxine’s Big Red. Genius!

 Oya readers. Selain orangtua, sekolah, dan anak-anak, ada dua orang lagi yang ingin ku ceritakan. Dan menurutku mereka sangat berpengaruh bagi Brad. Yang pertama, ada Jeff, adik Brad. Mereka sering berlomba, bertarung, bercanda, apapun. Namun mereka saling menyayangi. Jeff sangat perduli pada kakaknya. Dan satu orang lagi adalah Nancy Keene. Wanita yang dikenal Brad melalui Couple Connect, semacam tempat bagi kencan online. Tapi, siapa tahu? Mereka sangat cocok. Dalam kenyataannya Brad dan Nancy bahkan telah menikah pada 2006. Oh God!

Oke. Sudah selesaikah keajaiban dalam hidup Brad? Belum. Suatu saat ada pengamat dari State of Georgia, beliau mengamati seluruh pendidik baru se-Georgia, termasuk Brad. Dan hasilnya, Brad terpilih sebagai pendidik baru di Negara bagian Georgia tahun pertama, pada penghargaan Sallie Mae sebagai “Teacher of the Year”. Sebuah lompatan besar baginya untuk membuktikan hasil dari seluruh usaha dan kesabarannya, bukti pada ayahnya, sekolahnya, dan seluruh pimpinan sekolah yang pernah menolak Brad mentah-mentah saat interview. They’ve thrown away a big bright gold! Satu lagi, Brad juga berhasil mewujudkan satu mimpi konyolnya lagi, menjadi “Homer”, Atlanta Braves Mascott. Hahaha lot of applause for you, Brad!

Readers, sepertinya kita sudah sampai di penghujung pos. Hehe. Aku sudah menceritakan panjang lebar tentang film ini. Berharap kalian juga mendapatkan esensi yang sama, karena aku mendapat value sangat banyak setelah menontonnya. Satu kalimat favoritku dari seorang Brad Cohen adalah, “Never let anything to stop you from chasing your dream, from working, or playing, or falling love.”. Oh ya! Aku juga me-review film ini agar kita bisa sama-sama menjadi lebih “on fire”. Untuk apa? Yaitu…untuk menghadapi beberapa hari lagi menuju 2016. So, all I wanna say is have a really nice new year everyone! ME, love you myvisitors! xoxo

Rabu, 04 November 2015

Anak Kabut"Craziest" Monologue Ever!



Hi readers! Welcome to my blog (again), for the twice, third, fourth, fifth, and thousand times! Kali ini yang akan ku bahas bukan film, bukan. Masih memiliki alur cerita, masih diperankan tokoh, masih juga mengandung pesan dan makna. Ini semacam naskah monolog yang dipresentasikan dalam bentuk drama. Meskipun agak berbeda dengan film, dan sejujurnya aku pun dibuat agak bingung karena harus me-review-nya, tapi akan kucoba.

Naskah monolog berjudul “Anak Kabut” ini ditulis oleh Soni Farid Maulana, dan dipentaskan di atas panggung dengan sangat memukau oleh Ricilia Ryan Putri. Pada awalnya kukira ini adalah cerita tentang anak-anak korban asap di Indonesia, berhubung pementasan ini dilakukan saat bencana asap sedang sangat gencar dibicarakan. Namun ternyata, kata “kabut” dalam judul monolog ini memiliki arti yang sangat dalam dari yang kukira. Haha. Tentu saja. Oke, sekarang dengarkan aku. Tulisanku tidak akan begitu panjang kali ini, jadi nikmatilah.

Pementasan dimulai dengan sedikit alunan musik yang mengayun dengan tenang, setting panggung seperti sebuah kamar dengan kasur, meja rias, rak-rak, dan benda-benda yang memang semestinya berada di kamar. Lighting fokus terhadap pintu masuk hingga tiba-tiba keluar seorang wanita dengan pakaian santai dan minim ala wanita rumahan yang sepertinya baru saja selesai mandi. Jujur pada saat itu aku cukup kaget. Saat itu kami menonton di auditorium fakultas, di situ bukan hanya ada aku, tapi kami. Jamak. Laki-laki dan perempuan. Kami semua menontonnya dan jelas melihatnya dengan pakaian minim itu.

Sampai di situ penonton sudah mulai berbisik berkomentar dan memperlihatkan ekspresi yang bermacam-macam. Mungkin mereka satu pikiran denganku, bahwa pentas ini cukup “gila”. Namun saat itu aku sadar bahwa yang kutonton adalah seni, pasti ada sesuatu yang tak kuketahui dibalik mengapa wanita itu memakai pakaian seperti itu, dengan santai, di atas panggung pementasan.

Selanjutnya dia menatap cerminnya. Ya, kita juga sering mempraktekannya: mandi lalu bercermin. Iya bukan? Namun uniknya, cermin itu dibuat tidak ada kacanya (bingkai saja) dan di hadapkan ke audience, seakan-akan kami adalah cerminnya. Saat itu kupikir, hebat juga dia memoles-moles wajahnya tanpa benar-benar berkaca. Akting-nya sangat cerdas, menurutku.

Bila kuingat, dia baru mulai bermonolog saat itu. Memulai monolognya dengan racauan aneh merengek minta di buatkan tato bergambar naga di kedua belah payudaranya. Aneh bukan? Akupun kebingungan dan bahkan saat ini aku sangat risih menulisnya di blog-ku. Dia terus bermonolog seakan-akan ada orang di situ, dan sepertinya orang itu melarangnya untuk membuat tato di tubuhnya. Aku tak begitu paham, tapi itulah yang terjadi menurut persepsiku.

Dia terus bermonolog. Saat itu kudengar dia mulai mengeluhkan masalah pemerintah. Sambil membereskan kamarnya dan kembali bercermin, dia masih berbicara dan menyibukkan diri. Dia bercerita tentang pembunuhan kekasihnya di Bulan Mei 1998. Kekasihnya adalah seorang buruh bangunan, padahal lelaki itu sarjana lulusan universitas ternama. Orang bilang lelaki itu mati dibakar hidup-hidup dalam sebuah bangunan bersama banyak orang lain. Sang penguasa lah yang membakarnya. Meskipun begitu, lebih pahit, para penguasa itu masih bebas-bebas saja menikmati indahnya dunia semu.

 Sudah menjadi rahasia umum negeri ini untuk menjelaskan apa yang terjadi 17 tahun silam. Kepahitan yang ada, yang mungkin juga dirasakan sampai sangat membekas oleh wanita ini. Selain kekasihnya yang dibunuh, dia juga menjadi korban perkosaan. Sungguh keji. Sangat jelas baginya bagaimana rasanya kehilangan dan rasanya diperlakukan secara tidak manusiawi oleh orang-orang yang entah berperasaan atau tidak. Bahkan entah manusia atau bukan.

Dia sempat memperlihatkan bagaimana dia berdansa dengan kekasihnya dengan iringan lagu yang diciptakan oleh kekasihnya juga. Kukira dia benar-benar mencintai kekasihnya saat pembunuhan itu terjadi. Itu juga salah satu penyebab mengapa sampai sekarang dia belum bisa berpindah ke lain hati. Bahkan mungkin enggan mencintai lagi. Entahlah, aku tak bisa menjabarkannya dalam kata-kata. Perasaan yang kompleks.

Di detik-detik akhir pementasan, seseorang meneleponnya. Seorang teman yang sepertinya sudah membuat janji dengannya. Setelah itu dia langsung bersiap dan bicara di depan cermin, “aku berharap, seberapapun sakit yang aku rasakan di dunia, akan menjadi balasan untuk ku bahagia di akhirat nanti.” Begitulah akhirnya dia bangkit dan bergegas, juga berbarengan dengan berakhirnya pentas ini. Menutup buku kenangan rapat-rapat, yang suatu saat entah karena apa sudah terbuka lagi dan menghantuinya.

Setelah pementasan berakhir, aku jadi teringkat kembali judul naskah ini. Si anak kabut yang dimaksud, dengan wanita yang bermonolog tadi. Apa hubungannya? Ternyata kabut yang dimaksud di sini adalah masalah si tokoh. Kabut itu datang dan pergi tanpa ada yang menyadari. “Ga ada yang tau kabut secara utuh” jelas sang sutradara, Gustri Yurizal. Jadi, wanita ini hidup terombang-ambing, bingung mau melakukan apa, dan itu terjadi ketika semua kenangan buruk itu datang. Namun setelah itu, dia akan menjalani hidup lagi seperti biasa. Dan begitulah berlangsung selama ini semenjak 17 tahun yang lalu.

Dari naskah monolog dan pementasan yang kutonton, lagi-lagi sama seperti menonton film, banyak sekali pesan yang kudapatkan. Seperti yang kita tahu bahwa kemungkinan besar wanita ini mengalami perubahan biologis dan psikis pasca peristiwa mengerikan itu. Dan itu menjadi salah satu yang menyebabkan dia seperti ini sampai sekarang. Belum bisa move on, masih terbayang-bayang, bahkan terlarut dalam kenangan.

Namun, dari apa yang terjadi, wanita ini belajar dan sadar betul bahwa dialah penentu tindakan, dan dia bertanggung jawab atas dirinya. Yang bisa merubah dia dan hidupnya, siapa lagi jika bukan dia. Dari sini juga aku belajar bahwa masa lalu tidak akan pernah hilang. Meski dicoba untuk dilupakan pun, masa lalu akan tetap hadir. Jadi satu-satunya hal yang bisa menekannya semakin dalam adalah membuat masa lalu baru. Tentu  dengan cara “living your life”. Bukan hanya hidup dan menunggu malaikat pencabut nyawa, tapi hidup yang dijalani dengan prinsip moving forward. Entah itu berlari, berjalan, merangkak, apapun. Keep moving forward.

Ada satu lagi. Ini sudah sangat sering diucapkan oleh kebanyakan orang, tapi memang ini benar. Tuhan tidak akan memberikan cobaan di atas kemampuan hamba-Nya. Itu yang kuingat saat menyelami kisah hidup wanita si anak kabut ini. Sungguh. Aku percaya dan semakin percaya bahwa ada yang Maha Kuasa di atas manusia, ada tangan Tuhan yang selalu sigap menolong. Jadi, lihat bagaimana Tuhan dengan kuasa-Nya membuat anak kabut ini tetap hidup meski dalam remang-remang masa lalu yang kelam. Menakjubkanmu? Jawabannya, YA bagiku.

Minggu, 18 Oktober 2015

MEMENTO. It’s kinda messed up systematic film!



Hello Readers!
Bagaimana rasanya bersua denganku lagi? Haha jangan katakan bosan bila kalian masih membaca tulisanku dan mengunjungi blog-ku. Jadi, begini. Tugasku tentang film belum selesai. Setelah membahas film favoritku, alasan mengapa aku menyukainya, apa pesan yang ku terima, dan analisisku tentang ke-masuk akal-an dari film tersebut, sekarang ada tugas yang lebih menantang lagi yang ku dapatkan. Menurutku, apa yang menjadi kesukaan dan pengalaman kita, pasti lebih mudah diceritakan, dibanding dengan harus menganalisis sesuatu yang menjadi kesenangan atau hasil rekomendasi orang lain. What’s ur opinion?

Well, tapi tugas tetap tugas. Kewajiban tetap kewajiban. Mari kita selesaikan apa yang sudah kita mulai : aku dengan tulisanku, dan kalian dengan bacaan kalian (re:blog-ku). Hehehe. Sebelum kalian membaca lebih jauh dan pada akhirnya merasa bingung, kujelaskan dulu bahwa ini adalah film kedua yang membuatku memutar balikkan otak setelah film “Beautiful Mind”. Jujur aku sangat senang film semacam ini, tapi yang satu ini benar-benar membuatku kagum setengah bengong. Bukan karena filmnya jelek. Sama sekali bukan. Justru pengaturan film ini yang terlampau brilliant, membuatku otakku berbalik maju-mundur mengikuti alur cerita.

Oke, kali ini harus kita mulai dari mana? What is your favorite movie lagi? Ku pikir itu bukan pertanyaan yang tepat untuk tulisan ini. Mengingat bahwa film ini direkomendasikan oleh Kang Zein, dosenku. Lebih tepatnya memang kami diminta untuk menonton film ini dan membuat pos ini sebagai tugasnya. Lalu apa yang perlu ku lakukan? Aku ingin mencoba membahas film ini dengan caraku. Aku bukan orang yang pandai me-review film, jadi kumohon jangan tertawakan. Ini komitmen kita, oke?

M E M E N T O. Apa namanya terlalu asing di telinga kalian? Jika iya, akupun merasakan hal yang sama. Ya. Inilah judul film itu. Karena penasaran, sebelum ku tonton film ini, aku mencoba untuk mencari tahu definisinya. Seperti yang dilansir artikata.com, Memento adalah noun yang berarti: 1. a reminder of past events ; 2. A hint, suggestion, token, or memorial, to awaken memory; that which reminds or recalls to memory; a souvenir. Pengingat dan petunjuk adalah kata kuncinya.





Film ini disutradarai oleh Christopher Nolan. Naskahnya ditulis oleh Nolan berdasarkan cerita pendek buatan adiknya, Jonathan Nolan, "Memento Mori". Dibintangi Guy Pearce (Leonard Shelby), Carrie-Anne Moss (Natalie), dan Joe Pantoliano (Teddy Gammel). Memento disajikan sebagai dua urutan yang berbeda dari adegan berselang-seling selama film: serangkaian hitam-putih yang ditampilkan secara kronologis (alur maju), dan serangkaian urutan warna yang ditampilkan dalam urutan terbalik. Dua sekuens "bertemu" di akhir film, menghasilkan satu narasi lengkap yang seharusnya secara kronologis, urutan hitam-putih datang pertama, urutan warna datang berikutnya.
  
Urutan warna gambar yang terbilang tumpang tindih, secara singkat untuk membantu menunjukkan penonton kepada sebuah fakta bahwa film sedang disajikan dalam urutan terbalik. Tujuan dari sequencing terbalik adalah untuk memaksa penonton agar merasa memiliki pengalaman simpatik terhadap kemampuan Leonard yang rusak, untuk menciptakan kenangan jangka panjang baru, di mana peristiwa sebelumnya tidak teringat, karena penonton “dibuat” sengaja belum melihat mereka (re:peristiwa sebelumnya).

Memento tayang perdana pada 5 September 2000, di Festival Film Internasional Venice dan dirilis di bioskop Eropa dimulai pada Oktober 2000. Hal itu diakui oleh para kritikus, yang memuji struktur non-linier narasi dan motif dari memori, persepsi, kesedihan, dan menipu diri sendiri. Film ini sukses di box office dan menerima berbagai penghargaan, termasuk Academy Award nominasi untuk Best Original Screenplay dan Best Film Editing. Film ini kemudian memasuki peringkat salah satu film terbaik dekade yang dinilai oleh beberapa kritikus dan media.

 Film ini dimulai dengan Polaroid foto dari orang yang sudah mati. Sebagai urutan yang memainkan alur mundur, foto beralih ke negara berkembang yang memasuki kamera sebelum pria itu ditembak di kepalanya. Ini diikuti dengan urutan hitam-putih dan warna yang berselingan. Urutan hitam-putih mulai dengan Leonard Shelby (Guy Pearce) di sebuah kamar motel, ia diperlihatkan sedang berbicara dengan seorang penelepon yang tidak disebutkan namanya dan tidak ditampilkan di layar.

Leonard memiliki Anterograde Memory Loss dan tidak dapat menyimpan kenangan yang baru terjadi. Leonard menjelaskan bahwa kerusakan otaknya itu berawal saat ia membunuh penyerang yang memperkosa dan mencekik istrinya (Jorja Fox), tetapi tiba-tiba datang orang kedua yang memukulnya dan langsung melarikan diri. Polisi tidak menerima pertanyaan Leonard tentang adanya penyerang kedua, namun Leonard meyakini bahwa nama penyerang adalah John (atau mungkin James), dengan nama belakang dimulai dengan G.

Leonard melakukan investigasi sendiri menggunakan sistem catatan, foto Polaroid, dan tato. Sebagai penyidik ​​asuransi, Leonard selalu mengenang satu orang client-nya, Sammy Jankis (Stephen Tobolowsky), yang juga didiagnosis dengan kondisi yang sama. Istri diabetes Sammy (Harriet Sansom Harris), yang tidak yakin apakah kondisi Sammy adalah asli, berulang kali meminta suntikan insulin untuk mencoba mengetes Sammy apakah dia ingat atau tidak bahwa dia sebenarnya telah melakukan suntikan sebelumnya. Ternyata Sammy tidak ingat, alhasil sang istri jatuh koma dan meninggal.

Urutan warna yang ditampilkan dalam urutan kronologis terbalik. Dalam kronologi cerita, Leonard mendapat tato, berdasarkan petunjuk untuk dirinya sendiri, dari plat John G. Lalu ia menemukan catatan di pakaiannya, dan bertemu Natalie (Carrie-Anne Moss), seorang bartender yang membenci Leonard saat ia memakai pakaian dan drive mobil pacarnya, Jimmy. Setelah memahami kondisinya, dia memanfaatkannya untuk membuat Leonard mendorong seorang pria bernama Dodd (Callum Keith Rennie) keluar dari kota dan menawarkan plat untuk membantu penyelidikan.

Sementara itu, Leonard menemukan sebuah kontak, Teddy (Joe Pantoliano). Teddy membantu Dodd, tapi memperingatkan dia tentang Natalie; Namun, Leonard sudah menulis di foto Teddy, Don’t believe his lies. Natalie memberikan Leonard sebuah SIM, yang menunjukkan identitas John Edward Gammell, nama lengkap Teddy. Mengkonfirmasikan informasi yang dimiliki Leonard tentang "John G" dan peringatan yang ditulisnya, Leonard bertemu Teddy dan mendorong dia menuju sebuah bangunan yang ditinggalkan, dan mencoba membunuhnya seperti yang terlihat pada permulaan film.

Dalam hitam-putih urutan terakhir, diminta oleh si penelepon, Leonard bertemu Teddy di lobi motel. Teddy adalah seorang perwira yang menyamar dan telah mempertemukan Leonard dengan "John G", pacar Natalie Jimmy Grantz (Larry Holden), dan mengarahkan Leonard ke bangunan yang ditinggalkan sama di luar kota. Ketika Jimmy tiba, Leonard mencekik dia dan mengambil foto tubuh Jimmy.

Leonard bertukar pakaian dengan Jimmy, ia mendengar bisikan Jimmy, "Sammy". Seperti yang kita ketahui, Leonard hanya menceritakan kisah Sammy untuk orang-orang yang telah bertemu, akhirnya ia meragukan Jimmy adalah penyerang yang ia maksud. Teddy tiba dan menegaskan bahwa Leonard telah membunuh penyerang nyata lebih dari setahun yang lalu, setelah membantu Leonard menemukannya. Teddy mengklaim bahwa "John G" adalah nama umum, dia akan terus lupa, dan memulai pencarian lagi.

Selanjutnya, Teddy menjelaskan kepada Leonard bahwa istrinya sendiri yang jatuh ke dalam koma karena overdosis insulin seperti kisah Sammy. Setelah mendengar penjelasan Teddy, Leonard sadar dan membakar foto dari tubuh Jimmy. Ia memasuki mobil Jimmy dan mencatat plat nomor Teddy. Dia benar-benar lupa kejadian yang baru terjadi sebelumnya dan menganggap Teddy sebagai penyerang kedua, yang selanjtnya bisa kita pastikan akan mengarah pada peristiwa kematian Teddy. Meskipun pada saat itu, film sudah berakhir.

Dari summary film yang kutulis di atas (ku harap cukup jelas), memperlihatkan film dengan ketelitian, dan kreativitas tinggi. Jangankan untuk membuat film semacam ini, me-review-nya saja sudah membuat kepalaku terasa berat. Dengan film sebagus ini, banyak sekali penghargaan yang didapatkan dan tentunya mereka bisa mendapatkannya karena apresiasi para penggemar. Mereka tampil beda dengan genre “mystery thriller” yang terdengar mainstream. Yang sampai detik ini, membuatku terkagum-kagum.

Sekali lagi, film ini bukan favoritku. Tapi, aku senang bisa menonton karya sebagus dan se-keren ini. Menurutku, yang penting dan patut disinggung dari film ini bukan genrenya, tapi kemampuan film ini memadukan seni dan science. Itu yang membuatku memberikan 11 dari 10 poin jika ku bisa. Juga pemikiran sujet (presentasi film) dipikirkan dengan sangat rapi dan matang. Saat ini malah aku sedang memikirkan, bagaimana lagi aku bisa mengapresiasi karya ini? Menonton dan menulis tentangnya, bahkan kurasa belum cukup.

Aku adalah seorang mahasiswa biasa yang pada awalnya merasa terpaksa menonton film ini. Aku yang sedari awal menganggap ini tugas dan terlanjur menegatifkan persepsi. Yang kupikirkan hanya beban, padahal film itu seharusnya dinikmati. Dinikmati lalu dimaknai.  Dan itulah yang sekarang sedang kucoba lakukan. Memaknai film ini dan semua pesan yang tersirat di dalamnya. Aku yakin pasti ada. Bahkan sangat dalam.

We all need mirrors to remind ourselves who we are. I'm no different.” Kupikir ini adalah salah satu quote yang kuingat. Pesan yang  menjelaskan pada kita seberapa penting “bercermin” itu. Menurutku, bercermin bukan hanya untuk mengetahui siapa kita, tapi juga untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya. Mempergunakan kelebihan bagi hal-hal baik, dan mem-positif-kan otak kita tentang kekurangan kita sendiri. Berbeda dengan kesalahan yang perlu diperbaiki. Selain itu, bercermin itu berlaku untuk semua orang. Orang yang merasa sempurna dan orang yang memiliki kekurangan seperti Leonard pun pantas melakukannya.

Satu lagi kata-kata dari seorang Leonard Shelby yang sanat valid menurutku, “Memory can change the shape of a room; it can change the color of a car. And memories can be distorted. They're just an interpretation, they're not a record, and they're irrelevant if you have the facts.”. Betul, bahwa memori itu adalah pemetaan citra, ruang, dan bentuk bayangan lainnya ke dalam otak kita. kata-kata Leonard membuatku bertanya, lalu dapatkah kita mempercayai memori? Seiyanya itu adalah bayangan pengalaman yang pernah kita dapatkan. Dari mana kita tahu bahwa itu valid dan kita tidak memerintah otak untuk memodifnya? Fakta akan selalu dibutuhkan. Meskipun memori adalah satu hal primer juga pada seorang manusia.

Lalu sekarang menurut kalian, apakah film yang telah kuceritakan ini logis dan nyata? Menurutku, ya untuk logis dan tidak untuk nyata. Masuk akalnya adalah karena sangat wajar jika orang yang kecelakaan lalu terbentur kepalanya begitu keras, dia akan mengalami gangguan pada otaknya. Termasuk amnesia anterograde ini. Amnesia anterograde adalah hilangnya kemampuan untuk menciptakan kenangan baru setelah peristiwa yang menyebabkan amnesia, yang mengarah ke ketidakmampuan parsial atau lengkap untuk mengingat masa lalu, sementara kenangan jangka panjang sebelum kecelakaan tetap utuh. Dan amnesia ini dapat dijelaskan dalam science.

Selain itu, disebut masuk akal karena sangat manusiawi jika kita marah teradap orang yang telah menyakiti orang yang sangat kita cintai. Di Indonesia pun banyak kejadian pembalasan dendam semacam itu, hebatnya seorang Leonard terus menerus membunuh orang-orng bernama John. G tanpa tertangkap, malah seorang perwira membantuya mencari pelaku pembunuhan istrinya. Adil tidaknya mungkin diputuskan sesuai undang-undang mereka. Hehehe.

Setelah itu, mengapa aku berpendapat bahwa film ini tidak nyata? Karena menurutku cerita pembunuhan istri, lalu kerusakan otak dan semua kejadian yang ada dalam cerita ini adalah rekaan. Yang nyata adalah amnesianya. Amnesia ini memang benar-benar ada tetapi sekali lagi jalan ceritanya adalah rekaan. Seperti yang sudah saya singgung di awal, bahwa pembuatan film ini terinspirasi dari cerpen buatan adik sang sutradara. Yang mana cerpen itu adalah relatif fiksi, meskipun ada juga cerpen yang berdasarkan pengalaman pribadi.

Well, last but not least, satu hal yang ku sadari dari esensi tugas ini adalah, mempelajari manusia tidak sebatas melalui buku, atau harus selalu menghampiri orang-orang yang justru belum tentu menerimamu. Banyak sekali media yang dapat kita gunakan di masa modern ini, orang bukan hanya mengabarkan dan memberi tahu dunia apa yang terjadi lewat tulisan, tapi sudah bisa divisualisasikan, disimulasikan lewat adegan dan jalan cerita dalam film.

Selain itu, menonton film ini membuat kita menyadari bahwa kita terlalu sering men-judge tanpa mengerti dan memposisikan diri bagaimana sulitnya jika kita menjadi dia. Mereka yang memiliki kekurangan, selalu berusaha menyesuaikan diri sekeras mungkin, agar dapat masuk dan diterima di kehidupan sosialnya, tapi apakah kita sudah memposisikan dan menyesuaikan diri dengan mereka? Belajar menghargai dan mengapresiasi. Menurutku, itu luar biasa penting.

Oh ya, ingat tadi kubilang bahwa memori itu primer tapi kenyataan di dunia luar mungkin mematahkannya? Apa yang kalian pikir useless, mungkin pada kenyataannya sangat berharga bagi orang lain. Lalu, apa yang menurut kalian baik, malah tidak berguna bagi orang lain. Lakukan saja apa yang bisa kalian lakukan bagi mereka yang membutuhkan. Toh faktanya sesuatu hal baik sekecil apapun akan selalu berkesan bagi orang yang menerimanya.

Ada kalanya kita memang harus mempercayai dunia. Tanpa mencampuradukkannya dengan apa yang kita pikirkan. Rasakan dunia dengan murni. Kita tidak akan pernah tahu kapan pikiran kita menjadi negatif dan membawa kita kepada kesalahan. Thankyou for this cool task, Mr. Zein!

“I have to believe in a world outside my own mind. I have to believe that my actions still have meaning, even if I can't remember them. I have to believe that when my eyes are closed, the world's still there. Do I believe the world's still there? Is it still out there?... Yeah.”(Leonard Shelby, 2000)