Translate

Minggu, 13 Desember 2015

In "Front of the Class", i can find everything!



I have about 3 movies to watch, and I pick this one.
Hello. It’s me again. Akhir semester hampir tiba dan kupikir ini tugas terakhir untuk mata kuliah ini. Ya, kuharap. Haha sama seperti pos-pos sebelumnya, setelah aku selesai berusaha keras ber-“pedekate” ria dengan berusaha me-review penampilan drama monolog, sekarang yang akan kuceritakan (kembali ke path awal)  adalah film, dan segala yang ada di dalamnya. Maksudku, ini bukan hanya tentang cerita, tapi esensi.

            Oke, aku ingat saat itu aku sedang sakit dan absen dari kelas. Lalu tiba-tiba temanku berkata “Kita harus review film lagi. Ada tiga. Filmnya ada di aku kalau kamu mau minta.”. Haha. What a big surprise! Kang Zein memang selalu penuh dengan kejutan. Satu hal yang menggembirakan adalah, setelah lama film itu diberikan kepada kami, baru sekarang tugas untuk me-reviewnya tiba. (P.s: sebenarnya kami malah berharap Kang Zein lupa pernah memberi film untuk di review haha).

            Oh iya. Biar kujelaskan bahwa tugas ini mengharuskan kita mereview salah satu film, bukan ketiganya. Tapi untuk itu, kita harus menonton ketiganya dulu, bukan? Maka setelah kutonton, aku memilih untuk mereview film ini. Sebut saja, Front of The Class. Saat membaca judulnya, aku tak membayangkan filmnya akan seperti itu. It was just like…higher than my expectation. Film ini entah mengapa membuatku sangat ingin bertemu dengan Brad Cohen.

            Jika kalian tanya mengapa aku memilih film ini dibanding 2 film lainnya, jawabannya adalah karena film ini mengajarkanku banyak hal. Bukan hanya karena filmnya seru, bukan. Tidak terbatas sampai di situ. Ini benar-benar seperti cambukan tentang mimpi, pengajar, cara mengajar, dan sistem pembelajaran. Membukakan mata kita bahwa belajar tidak se-rigid itu. Seluruhnya sangat fleksibel. Dan sesungguhnya penghargaan di mata manusia selama ini sudah cukup melenceng. Penghargaan dilihat dari gelar, bukan apa yang dia lakukan setelah mendapat tanggung jawab dari gelar itu. Haha too funny, everyone!

            Well readers, let’s go back to the film. Skenario film ini dibuat oleh Tom Rickman, berdasarkan novel yang dibuat langsung oleh sang pengidap Tourette dengan judul yang sama. Mungkin itu juga yang membuat film ini sangat hidup karena cerita tentang Tourette sudah dijelaskan secara detail oleh Brad Cohen di novelnya. Belum lagi film ini juga mempunyai direktor yang hebat, Peter Werner. Semua cast nampak sangat cocok dengan perannya.

            Film ini diawali dengan kehidupan kecil Brad yang bisa dibilang tak memiliki tempat di manapun. Sejak 6 tahun, ia di-bully oleh teman-temannya, dan juga selalu dianggap mengganggu kelas oleh para guru. Awalnya kupikir keluarga pasti mengerti keadaannya, namun ternyata tidak sepenuhnya. Sang ayah, Norman, juga selalu menganggap Brad membuat kekonyolan. Norman bahkan pernah membentak Brad sehabis pertandingan bisbol, dan itu membuat seluruh pengunjung menatap mereka. Semua menganggap Brad mencoba menjadi badut, namun Brad selalu meyakinkan mereka bahwa ia tidak dapat menahan suara-suara aneh yang keluar dari mulutnya sendiri.

            Tetapi, dibalik itu semua ada satu orang yang selalu menemani Brad. Ellen (Ny. Cohen), ibu kandung Brad selalu berusaha untuk sabar dan memahami anaknya. Ia mencoba membawa Brad ke dokter, namun tak ada satupun yang berhasil. Sampai akhirnya suatu hari Brad dikeluarkan dari sekolah, Ellen pun menjadi sangat kesal dan semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada Brad.

Ia mencari banyak buku medis tentang penyakit mental dan menemukan satu sindrom dengan ciri-ciri yang sama seperti yang nampak pada Brad. Saat itulah mereka tahu bahwa Brad mengalami Tourette sindrom. Tourette sindrom adalah gangguan neurologis dimana otak mengirimkan sinyal untuk tubuh. Ini seperti bersin. Tak tertahankan. Satu hal yang membuat Ellen sangat terpukul adalah, Tourette syndrome has no cure. Namun, Ellen meyakini satu hal: jika tidak ada obatnya, mungkin ada cara untuk hidup normal.

            Pernah suatu hari Ellen membawa Brad ke gereja, di sana para penderita Tourette berkumpul. Awalnya Ellen berfikir bahwa itu adalah ide yang bagus, sampai mereka masuk dan melihat bahwa di sana adalah tempat para penderita Tourette menyerah. Really. They have no hope. They have no place. Mereka membiarkan Tourette menang. Namun itulah yang membuat Brad mendapat suatu falsafah untuk hidup, yap, diumurnya yang saat itu adalah  12 tahun. Brad yakin bahwa dia harus menghadapi setiap kesulitan. Luar biasa.

            Ada suatu kejadian menarik yang pernah terjadi pada Brad. Yaitu saat ia lulus ke sekolah menengah. Kelas baru, guru baru, dan teman baru tentu bukanlah hal yang mudah baginya. Seperti biasa, ia dianggap pengganggu. Bahkan sang guru menyuruh ia untuk menghadap kepala sekolah. The principal, Mr.Myer (Mike Pniewski), menghadapi Brad dengan santai. Ia meminta Brad menghadiri konser orchestra sekolah, meskipun Brad sudah meyakininya bahwa suara anehnya akan mengganggu konser. But readers, Mr.Myer knows what to do!

Akhirnya Brad menghadiri konser tersebut, dan benar saja, Tourette-nya sangat mengganggu. Saat pertunjukkan selesai, Mr.Myer meminta Brad maju ke depan. Well, this is a nice part I think. Mr.Myer bertanya pada Brad tentang “kelakuan anehnya” itu, di atas panggung, di hadapan seluruh penonton konser. Dan inilah jawaban Brad yang membuatku tertegun, seperti orang-orang yang ada di ruangan konser saat itu.

“I don’t like making noises anymore than you like hearing now. It’s even worse when I get stress, when you don’t accept that I can’t stop them. But when I feel accepted, that will not so bad. I just wanna be treated like anybody else.”

Sejak saat itu, ia merasa seperti membuka pintu untuk dunia baru. Disitulah Brad memutuskan bahwa ia ingin menjadi guru. Guru yang memungkinkan anak-anak belajar, meskipun  mereka berbeda. Semakin dewasa, Brad semakin menyadari bahwa Tourette ini sudah menjadi temannya sejak kecil. Namun ia tidak pernah mau membiarkan apapun menghalangi mimpinya. Ia tetap dan selalu ingin menjadi seorang guru. Ia melamar pekerjaan kemana-mana. Trial and error. Sampai akhirnya ia menemukan Montain View Elementary School. You know what? He is accepted!!

Dia mulai mengajar di kelas 2. Dan perlu ku katakan bahwa murid-muridnya sangat membuatku iri. Omg. I wish that I could have a teacher like that! Haha tapi aku juga sangat ingin bertemu Heather, Amanda, Thomas, Henry, Eli, semua. Mereka dan Brad sangat menyentuh. Terutama Heather, aku harap dia bisa muncul lebih lama dalam film. I cried, really. Haha. Oh ya. Banyak sekali perubahan yang terjadi semenjak Brad mengajar. Terutama pada Thomas. Tak ada satu pun guru yang berhasil mengurusnya, tapi Brad berhasil. Sangat, menurutku. Brad juga membuat pelajaran geografi menjadi sangat menyenangkan karena Maxine’s Big Red. Genius!

 Oya readers. Selain orangtua, sekolah, dan anak-anak, ada dua orang lagi yang ingin ku ceritakan. Dan menurutku mereka sangat berpengaruh bagi Brad. Yang pertama, ada Jeff, adik Brad. Mereka sering berlomba, bertarung, bercanda, apapun. Namun mereka saling menyayangi. Jeff sangat perduli pada kakaknya. Dan satu orang lagi adalah Nancy Keene. Wanita yang dikenal Brad melalui Couple Connect, semacam tempat bagi kencan online. Tapi, siapa tahu? Mereka sangat cocok. Dalam kenyataannya Brad dan Nancy bahkan telah menikah pada 2006. Oh God!

Oke. Sudah selesaikah keajaiban dalam hidup Brad? Belum. Suatu saat ada pengamat dari State of Georgia, beliau mengamati seluruh pendidik baru se-Georgia, termasuk Brad. Dan hasilnya, Brad terpilih sebagai pendidik baru di Negara bagian Georgia tahun pertama, pada penghargaan Sallie Mae sebagai “Teacher of the Year”. Sebuah lompatan besar baginya untuk membuktikan hasil dari seluruh usaha dan kesabarannya, bukti pada ayahnya, sekolahnya, dan seluruh pimpinan sekolah yang pernah menolak Brad mentah-mentah saat interview. They’ve thrown away a big bright gold! Satu lagi, Brad juga berhasil mewujudkan satu mimpi konyolnya lagi, menjadi “Homer”, Atlanta Braves Mascott. Hahaha lot of applause for you, Brad!

Readers, sepertinya kita sudah sampai di penghujung pos. Hehe. Aku sudah menceritakan panjang lebar tentang film ini. Berharap kalian juga mendapatkan esensi yang sama, karena aku mendapat value sangat banyak setelah menontonnya. Satu kalimat favoritku dari seorang Brad Cohen adalah, “Never let anything to stop you from chasing your dream, from working, or playing, or falling love.”. Oh ya! Aku juga me-review film ini agar kita bisa sama-sama menjadi lebih “on fire”. Untuk apa? Yaitu…untuk menghadapi beberapa hari lagi menuju 2016. So, all I wanna say is have a really nice new year everyone! ME, love you myvisitors! xoxo