What
is your favorite movie?
Let’s
talk about my faveee! Oke. Bicara tentang film favorit,
sebenarnya aku adalah movie eater.
Film seperti apapun, genre apapun,
siapapun pemainnya, bukan masalah untukku. Semua film memiliki esensi
masing-masing, dan aku sungguh menikmatinya. Dan sejujurnya, saat ini, bahkan
dari tadi di kelas saat Kang Zein memberikan tugas ini, aku kebingungan. Ku
putar film-film yang pernah ku tonton di dalam otakku. Dan perlu kalian tau,
itu banyak. Sangat banyak, maksudku. Seperti kehabisan pita film, semua bayangan
adegan film itu terhenti.
Aku masih membuka-buka folder laptopku.
Berharap bisa menemukan inspirasi. Indo? Western? Korea? Jepang? Thailand? Hmm.
Apakah Action? Horror? Romance?
Beberapa judul film mulai lalu-lalang di otakku. Aku selalu tertarik dengan tokoh
Katniss Everdeen dalam Hunger Games,
dan selalu kagum dengan jalan cerita The
Others. Aku juga tidak pernah bisa berhenti menyukai acting Ryu Seung Ryong
dalam Miracle In Cell No.7. Semua
film terdengar bagus untuk ku review. Tunggu! Biar aku berpikir lagi.
Sekali lagi. Film yang ku sukai sangat
banyak. Film yang bagus pun tentu sangat banyak, mungkin lebih banyak dari yang
ku tahu. Tapi, saat ini aku berpikir untuk menghargai karya anak bangsa. Film
Indonesia yang juga cukup bagus dan memberikan kesan setelah selesai ku
tonton. Entah mengapa aku tak pernah
bosan menonton kedua film ini. Entah karena pemerannya, kesannya, settingnya, aku tak begitu ‘ngeh. Tapi kedua film ini cukup capable bersaing untuk diminati oleh
para penggemar film.
Oke. Sebut saja pertanyaan ini
membawaku pada dua jawaban. Film pertama adalah 5cm. Salah satu film yang ku tonton berulang-ulang, namun tidak
menimbulkan kebosanan. Ada alasan tersendiri mengapa aku begitu menikmati film
ini. Nanti ku jelaskan. Dan film kedua adalah Merry Riana. Film yang sejujurnya tidak menarikku untuk menonton di
bioskop, namun pada akhirnya berhasil membuatku menangis. Pertanyaan berikutnya
akan menjelaskan mengapa aku memutuskan kedua film ini di daftar film
terfavoritku.
Why
does it become your favorite movie?
Percaya tidak bahwa kamu akan menyukai
lagu karena liriknya sesuai dengan apa yang kamu rasakan? Atau men-screenshoot ribuan quotes karena menggambarkan apa yang ingin kamu katakan? Haha it’s all make sense! Aku adalah satu
dari sekian orang yang akan menjawab YA atas pertanyaan itu. Begitu juga dengan
film ini. 5cm. Aku menyukai dan sangat menikmati film ini karena keadaannya
yang sama denganku. Bukan tentang pendakian ke Mahameru, bukan. Aku bahkan
takut ketinggian, Yang sama itu tentang persahabatan mereka.
Lagi-lagi tugas ini membuatku harus
membayangkan apa yang terjadi sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Saat seorang
siswi SMP sepertiku akhirnya lulus dan melanjutkan studi ke SMA. Tidak berhasil
masuk ke SMA Negeri, membuatku sangat kacau. Mungkin kuadrat dari kacau. Aku tak
bisa bangun dari ranjangnya selama satu minggu. Tak jelas sakit apa, akhirnya
orangtuaku tahu bahwa aku stress saat itu. Papa yang sangat kenal bahwa anaknya
suka menyanyi, membelikannya gitar. Dan tebak! Dia sembuh!
Mama menyodorkanku banyak brosur dan
kulihat semuanya dengan asal-asalan. Satu brosur cukup menyita perhatianku,
meski aku tahu masuk SMA swasta jelas bukan sebuah mimpi yang menjadi
kenyataan. SMA Angkasa. Nama yang bagus. Aku benar-benar akan menjadi alien. Beberapa
teman SMP ku juga tertarik untuk masuk ke SMA itu. Aku sendiri memilih sekolah
itu karena mereka bilang itu merupakan salah satu sekolah swasta yang terbaik
di sini. Papa dan Mama setuju aku atas pilihanku. Besok mereka akan mengantarku
ke sana.
Saat itu kali pertamaku menginjakkan
kaki di sekolah itu. Not bad,
pikirku. Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang siswa baru juga. Ku pikir sejauh
ini mereka ramah-ramah. Mereka, kecuali satu siswa di ujung sana. Di depan
ruang Tata Usaha, tempat Mama ku berada. Dia memandangku dengan sinis. Untuk
orang baru yang tidak tahu apa-apa tentangku, bisa ku katakan bahwa dia tidak
sopan. Sangat. Perlu 2 menit untuknya memalingkan pandangannya dariku. Sungguh,
apa selama itu dia tidak sadar bahwa aku sudah sengaja menatapnya untuk
membuatnya malu?
Hari berlalu sampai akhirnya H-1 masa
orientasi tiba. Hari itu semua siswa diundang untuk datang ke sekolah. Kami
berbaris di lapangan. “Hari ini akan ada pembagian kelompok. Itu nantinya akan
jadi kelas kalian”, samar-samar ku dengar seorang koordinator lapangan menjelaskan.
Satu-persatu nama kami dipanggil. Aku melihat lelaki itu lagi. Dia dan aku
sama-sama belum terpanggil. Juga tersisa sekitar 27 orang lain. Akhirnya sang
koorlap berkata, “Ya, kalian sisanya, buat barisan baru. Kalian kelompok
terakhir.”
Mataku membelalak. Kaget? Ya! Jelas iya!
Aku satu kelas dengan lelaki menyebalkan itu! Tuhan pasti marah padaku, makanya
Ia menghukumku. Aku bahkan berharap untuk tidak melihat lelaki itu lagi. Tapi
Tuhan terlalu baik. Tuhan penuh kedamaian. Tidak pernah menginginkan dua anak
manusia saling tidak menyukai. Baiklah kalau begitu, akan ku atasi lelaki ini. Apa
yang akan terjadi padaku? Padanya? Pada kami? Ku kesampingkan dulu. Yang penting
adalah akan ku hadapi. Selanjutnya? Let’s
see!
Aku masuk ke kelas dan kebingungan
mencari tempat duduk. Akhirnya ku putuskan untuk duduk di depan bersama seorang
wanita cantik bernama Syifa. Kami duduk di banjar ketiga baris pertama. Tak
lama kemudian lelaki itu masuk, dengan temannya, mungkin. Entahlah. Dia duduk
di banjar pertama baris pertama. Setelah kami duduk rapi, senior memasuki
ruangan dan sialnya men-switch tempat duduk kami semua. “Kamu. Meitha ya? Duduknya
sama Ahmat. Valdwi pindah sama Syifa.” Tebak siapa yang sengaja Tuhan satukan :
aku dan lelaki menyebalkan itu.
Sekarang dia ada di sebelahku. Dia yang
terus menunduk, dan aku yang sibuk memalingkan muka. “Ya sekarang kenalan dulu
sama yang di sebelah kalian. Hafalin namanya, asal sekolah, dan nama ayahnya. Nanti
kedepan sebangku-sebangku.”. Apa aku tidak salah dengar? Senior menyebalkan. “Siapa
yang akan memulai percakapan ini?”, pikirku. Ku keluarkan selembar kertas. “Tulis
aja data yang disuruh sama senior.”, pintaku padanya. Dia mengambil kertasnya
dan berkata, “Udah gausah pake kertas. Nama kamu siapa?”
Begitulah sampai akhirnya aku tahu bahwa
namanya adalah Ahmat Irfan Malik. Dari SMPN 3 Margahayu. Nama Ayahnya adalah
Edison. Hanya itu kan yang perlu ku ketahui? Dia mencoba meyebutkan nama ayahku
berkali-kali dan masih saja salah. Padahal ‘Rasmitha Surya Fathon’ tidak sesulit
itu. Dia terlihat benar-benar kesusahan. Bukan bergurau. Dia menepuk pundakku, “Sekali
lagi. Siapa namanya?”. “Rasmitha”, jawabku. Dia masih berusaha menyebutkan dan
menghafalnya. Sungguh, ku harap dia tidak pernah membuatku muak sebelumnya
Kami semakin dekat. Sampai akhirnya aku
memanggilnya ‘Abang’. Dia menganggapku adik. Kami tetap dekat meski bangku telah di switch kembali oleh senior. Tiba suatu
saat aku duduk di baris ketiga. Di depanku duduk dua orang lelaki. Mereka
terlihat kaku. Tidak bicara satu sama lain sampai akhirnya ada bolpoin jatuh
dan mereka berdua mengambilnya secara bersamaan. “Eh jari kamu item-item juga.
Anak boxer juga ya?” Begitulah awal mereka bicara. Menjijikan, pikirku.
Tebak lagi! Dua lelaki di depanku itu
akhirnya berkenalan denganku. Tidak tahu siapa yang memulai, tapi suasana
sangat hangat. Mereka tidak se-menjijikan yang aku pikir. Haha. Oh ya. Namanya
M. Mimbar Syawaldi Chaniago dan Ekky Setya Darmadi. Mereka berdua sama-sama mengikuti
Tarung Drajat. Sama seperti Ahmat. Ketiga lelaki yang kukenal itu, sama-sama
petarung. Mereka memiliki tubuh yang ideal dan tampang yang bisa dibilang
memadai. Wanita satu kelas bilang aku beruntung, bahkan kelas lain. Padahal,
tidak juga.
Malam innaugurasi tiba. Setiap kelas
harus menampilkan pertunjukkan. Kami kehilangan akal. Senior yang pernah
mendengarku bernyanyi, memintaku untuk tampil. Aku tidak percaya diri karena
kelas lain menampilkan dangdutan. Aku bahkan tidak bisa bernyanyi dangdut. Aku
menolak sampai akhirnya ada satu orang lelaki menghampiri, “Gapapa, kita tampil
akustikan aja. Lagian kita penutup, gapapa beda dari yang lain. Aku yang
gitarin.”. Senior menatapku, begitupun dia. “Oke.”, jawabku.
Kami briefing
sebentar. Lalu tampil. Lagu butiran debu, saat itu. Semua terbawa suasana,
bahkan senior kami menangis. Innaugurasi ini malam penghujung kami bersama. Ku kira
wajar mereka bersedih. Penampilan kami berjalan lancar. Aku berterimakasih
padanya karena sudah mengiringiku. Dia bilang bahwa dia tidak pernah keberatan.
Begitulah awalnya aku mengenal satu lelaki lagi dalam hidupku. Lelaki terakhir
yang melengkapi kami, melengkapi aku, Abang, Mimbar dan Ekky. Namanya Bayu
Maulana Ismail.
Bagaimana? Perkenalanku dengan mereka
telah ditakdirkan, bukan? Berkenalan dengan lelaki yang kau anggap menyebalkan
dan menjijikan bukan suatu kebetulan, menurutku. Namun aku bersyukur, bahkan
sampai detik ini. Mengenal mereka, bersahabat dengan mereka, sungguh aku
beruntung. Kali ini ku benarkan ucapan para wanita di luaran sana bahwa aku
memang beruntung. Bukan karena ada lelaki-lelaki tampan mengelilingiku. Tapi karena,
semua lelaki tampan itu justru berlaku konyol dan menjadi “tidak tampan” di hadapanku.
Keadaan Riani, bersama empat sahabatnya,
Zafran, Ian, Arial dan Genta menjadi sangat mirip dengan keadaanku. Satu wanita
dan empat lelaki. Aku sangat paham bagaimana bahagianya Riani berada di antara
mereka. Bagaimana hafalnya Riani atas makanan kesukaan semua sahabatnya itu, bagaimana
nyamanya selalu di sayangi dan di lindungi oleh keempat lelaki pilihan Tuhan,
yang selalu ada, mendengarkan, menghibur, memberikan bahunya meski hanya
sekedar untuk aku tidur atau menangis.
Ketika film ini ku putar, sekali, dua
kali, tiga kali, bayanganku pada mereka masih terus muncul. Sampai aku lupa
sudah berapa kali aku mengulang film ini di laptopku karena merindukan mereka.
Konflik dan masalah bermunculan di antara kami. Kami mencoba bertahan tapi
keadaan memaksa kami untuk kehilangan. Satu, dua, tiga orang sampai akhirnya
kami semua hanya sekedar mengenal. Bukan lagi kami yang berkumpul, bercerita,
dan membicarakan bagaimana sadisnya manusia berubah. Kami punya janji. Janji untuk
tetap sama. Dan janji itu adalah, janji yang sekarang sudah tergeletak tak
bernyawa.
Readers,
merindu itu menyakitkan, bukan? Bercerita tentang masa lalu seperti itu memang
menyesakkan. Tapi, bagaimana rasanya jika yang kau rindukan adalah orang tua?
Tempat tinggal? Negara mu? Akan lebih sakit, kurasa. Satu hal yang membuatku
menjadi lebih kuat adalah saat mengetahui bahwa cobaan yang orang lain
dapatkan, lebih berat dari apa yang ku dapatkan. Sebut saja satu film lagi, Merry Riana. Aku merasa lemah selama ini
saat melihat perjuangan seorang Merry Riana. Sendirian, jauh dari orang tua,
perbekalan minim, entah harus ke mana dan berbuat apa.
Kisah persahabatannya dengan Irene Lee
juga sangat nyata. Mereka memperdulikan satu sama lain. Kehadiran Irene dalam
film ini seperti malaikat penolong, namun tetap ada konflik. Tidak melulu baik,
dan tidak pula melulu jahat. Aku dapat merasakan emosi dalam hubungan ini.
Bahkan adegan mereka menyulut haru. Hebatnya, mereka bisa kembali bersama lagi
setelah kecemburuan membutakan mata Irene. Begitu mungkin sahabat sejati. Akan tetap
kembali sejauh apapun mencoba pergi.
Salah satu yang paling ku sukai, kisah Merry
dan Alva. Foto mereka berdua terpampang di
cover film ini, awalnya ku kira film ini tentang mereka. Ternyata dugaanku
salah. Kisah cinta yang ada bukan mendominasi, namun melengkapi. Kisah cintanya
sangat mahal, berkesan, bersahaja. Entah bagaimana rasanya mendapatkan sosok
seperti Alva saat berada pada titik tersulit dalam hidup. Mungkin rasanya seperti
menemukan toilet saat kau ingin buang air. Tepat. Lega. Tenang. Nyaman.
Over
all, inti dari mengapa aku menyukai kedua film di atas,
adalah karena kedua film itu menimbulkan kesan yang sangat dalam setelah aku
selesai menontonnya. Terbayang-bayang. Film yang berhasil membuatku masuk ke
dalamnya. Terlarut. Bahkan menangis. Dan keduanya adalah film buatan Indonesia,
meskipun ada beberapa kekurangan dan kejanggalan di dalamnya, namun aku tidak mau
berkilah, aku memang menikmatinya.
What
is the message?
Pertanyaan bagus. Setiap film,
cerita, skenario, pasti memiliki maksud dan tujuan. Pasti ada pesan yang
tersirat maupun langsung tersurat di dalamnya. Dari film 5cm, pesan yang aku
dapatkan pertama adalah bagaimana cara bersahabat. Maksudku, kita semua pasti
memiliki sahabat masing-masing. Lelaki atau wanita. Sedikit atau banyak. Sifat yang
juga beragam, keadaan yang berbeda-beda. Perlakukanlah mereka sepantasnya,
hormati ke-apa adanya-an mereka. Yang saat mereka menjadi apa adanya, itu
berarti mereka sudah nyaman bersamamu. Jangan rusak kenyamanan itu.
Selain itu 5cm juga mengajarkanku
untuk mencintai tanah yang kita tempati, air yang kita minum, nafas yang kita
hirup, dari kita lahir sampai saat ini. Mencintai dan menyayangi alam tidak
sesulit itu, tergantung seberapa banyak kita mau berterimakasih atas apa yang
alam beri secara gratis. Film ini juga mengajarkan masalah mimpi. “Jangan
pernah berhenti untuk bermimpi”, “Dan bermimpi saja tidak akan pernah cukup. Sebuah
impian memang seharusnya tidak perlu terlalu banyak di bicarakan,tetapi
diperjuangkan.” Begitulah film ini menghipnotisku.
Satu film lagi tentang “Mimpi Sejuta
Dolar”. Merry Riana menyuguhkan pesan yang sangat gamblang. “I will fight till
the end and never give up”. Tidakkah satu kalimat itu menjelaskan semuanya?
Berjuang sampai akhir memang tugas setiap manusia, bukan? Selesaikan apa yang sudah
kita mulai, dan jangan pernah menyerah untuk menyelesaikan semuanya. I wish that I could meet you, Merry.
Is
it real or logic?
Welcome to last question, okay let’s finish this!
Untuk film 5cm, apakah itu nyata atau tidak? Film ini diambil dari novel dengan
judul yang sama. Terinspirasi dari kisah nyata, dimana setiap tanggal 17 Agustus
di sebagian besar puncak gunung di Indonesia, sering diadakan upacara bendera
untuk memperingati hari kemerdekaan. Namun, cerita mengenai 5 sahabat ini
adalah rekaan. Masuk akal atau tidak? Menurutku karena memang novel dan filmnya
di ambil dari kiah nyata, jelas kisahnya masuk akal.
Untuk film Merry Riana : Mimpi
Sejuta Dolar, apakah nyata atau tidak? Sebetulnya memang ada kisah nyata
tentang Merry Riana yang dijadikan novel oleh Alberthiene Endah, namun menurutku
apa yang ditayangkan dalam film hanya “terinspirasi” dari kegigihan sosok Merry
Riana, yang berhasil meraup satu juta dolar pertamanya di usia ke-26 setelah
melewati masa sulit di Nanyang Technology University, Singapura. Karena dalam
film, kisah Merry Riana disajikan dengan jalan cerita yang berbeda dengan
novelnya, meskipun memiliki garis besar yang sama.
Dan apakah kisahnya logis atau tidak?
Jawabannya adalah ya. Pertama karena sosok Merry Riana benar-benar ada, nyata,
dan ceritanya pun ada berdasarkan pegalaman pribadinya. Kedua, memang benar
semua menjadi mungkin saat kita mau berusaha keras, tidak pernah menyerah meski
kesulitan dan kegagalan tiba begitu sering. Karena pada akhirnya, kita akan
menyadari bahwa usaha keras tidak akan pernah mengkhianati. Selamat menikmati
proses!








waw
BalasHapuswah.. baru di kasih tau bayu ini tetehnya ekky comment.haha malu, teh.. tapi makasih udah nyempetin baca hehe xD
Hapus