Translate

Selasa, 13 Oktober 2015

Me, My Favorite Movies, and Story Behind It



What is your favorite movie?
Let’s talk about my faveee! Oke. Bicara tentang film favorit, sebenarnya aku adalah movie eater. Film seperti apapun, genre apapun, siapapun pemainnya, bukan masalah untukku. Semua film memiliki esensi masing-masing, dan aku sungguh menikmatinya. Dan sejujurnya, saat ini, bahkan dari tadi di kelas saat Kang Zein memberikan tugas ini, aku kebingungan. Ku putar film-film yang pernah ku tonton di dalam otakku. Dan perlu kalian tau, itu banyak. Sangat banyak, maksudku. Seperti kehabisan pita film, semua bayangan adegan film itu terhenti.

Aku masih membuka-buka folder laptopku. Berharap bisa menemukan inspirasi. Indo? Western? Korea? Jepang? Thailand? Hmm. Apakah Action? Horror? Romance? Beberapa judul film mulai lalu-lalang di otakku. Aku selalu tertarik dengan tokoh Katniss Everdeen dalam Hunger Games, dan selalu kagum dengan jalan cerita The Others. Aku juga tidak pernah bisa berhenti menyukai acting Ryu Seung Ryong dalam Miracle In Cell No.7. Semua film terdengar bagus untuk ku review. Tunggu! Biar aku berpikir lagi.

Sekali lagi. Film yang ku sukai sangat banyak. Film yang bagus pun tentu sangat banyak, mungkin lebih banyak dari yang ku tahu. Tapi, saat ini aku berpikir untuk menghargai karya anak bangsa. Film Indonesia yang juga cukup bagus dan memberikan kesan setelah selesai ku tonton.  Entah mengapa aku tak pernah bosan menonton kedua film ini. Entah karena pemerannya, kesannya, settingnya, aku tak begitu ‘ngeh. Tapi kedua film ini cukup capable bersaing untuk diminati oleh para penggemar film.

            Oke. Sebut saja pertanyaan ini membawaku pada dua jawaban. Film pertama adalah 5cm. Salah satu film yang ku tonton berulang-ulang, namun tidak menimbulkan kebosanan. Ada alasan tersendiri mengapa aku begitu menikmati film ini. Nanti ku jelaskan. Dan film kedua adalah Merry Riana. Film yang sejujurnya tidak menarikku untuk menonton di bioskop, namun pada akhirnya berhasil membuatku menangis. Pertanyaan berikutnya akan menjelaskan mengapa aku memutuskan kedua film ini di daftar film terfavoritku.

Why does it become your favorite movie?
Percaya tidak bahwa kamu akan menyukai lagu karena liriknya sesuai dengan apa yang kamu rasakan? Atau men-screenshoot ribuan quotes karena menggambarkan apa yang ingin kamu katakan? Haha it’s all make sense! Aku adalah satu dari sekian orang yang akan menjawab YA atas pertanyaan itu. Begitu juga dengan film ini. 5cm. Aku menyukai dan sangat menikmati film ini karena keadaannya yang sama denganku. Bukan tentang pendakian ke Mahameru, bukan. Aku bahkan takut ketinggian, Yang sama itu tentang persahabatan mereka.






Lagi-lagi tugas ini membuatku harus membayangkan apa yang terjadi sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu. Saat seorang siswi SMP sepertiku akhirnya lulus dan melanjutkan studi ke SMA. Tidak berhasil masuk ke SMA Negeri, membuatku sangat kacau. Mungkin kuadrat dari kacau. Aku tak bisa bangun dari ranjangnya selama satu minggu. Tak jelas sakit apa, akhirnya orangtuaku tahu bahwa aku stress saat itu. Papa yang sangat kenal bahwa anaknya suka menyanyi, membelikannya gitar. Dan tebak! Dia sembuh!

Mama menyodorkanku banyak brosur dan kulihat semuanya dengan asal-asalan. Satu brosur cukup menyita perhatianku, meski aku tahu masuk SMA swasta jelas bukan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. SMA Angkasa. Nama yang bagus. Aku benar-benar akan menjadi alien. Beberapa teman SMP ku juga tertarik untuk masuk ke SMA itu. Aku sendiri memilih sekolah itu karena mereka bilang itu merupakan salah satu sekolah swasta yang terbaik di sini. Papa dan Mama setuju aku atas pilihanku. Besok mereka akan mengantarku ke sana.

Saat itu kali pertamaku menginjakkan kaki di sekolah itu. Not bad, pikirku. Aku mulai berkenalan dengan beberapa orang siswa baru juga. Ku pikir sejauh ini mereka ramah-ramah. Mereka, kecuali satu siswa di ujung sana. Di depan ruang Tata Usaha, tempat Mama ku berada. Dia memandangku dengan sinis. Untuk orang baru yang tidak tahu apa-apa tentangku, bisa ku katakan bahwa dia tidak sopan. Sangat. Perlu 2 menit untuknya memalingkan pandangannya dariku. Sungguh, apa selama itu dia tidak sadar bahwa aku sudah sengaja menatapnya untuk membuatnya malu?

Hari berlalu sampai akhirnya H-1 masa orientasi tiba. Hari itu semua siswa diundang untuk datang ke sekolah. Kami berbaris di lapangan. “Hari ini akan ada pembagian kelompok. Itu nantinya akan jadi kelas kalian”, samar-samar ku dengar seorang koordinator lapangan menjelaskan. Satu-persatu nama kami dipanggil. Aku melihat lelaki itu lagi. Dia dan aku sama-sama belum terpanggil. Juga tersisa sekitar 27 orang lain. Akhirnya sang koorlap berkata, “Ya, kalian sisanya, buat barisan baru. Kalian kelompok terakhir.”

Mataku membelalak. Kaget? Ya! Jelas iya! Aku satu kelas dengan lelaki menyebalkan itu! Tuhan pasti marah padaku, makanya Ia menghukumku. Aku bahkan berharap untuk tidak melihat lelaki itu lagi. Tapi Tuhan terlalu baik. Tuhan penuh kedamaian. Tidak pernah menginginkan dua anak manusia saling tidak menyukai. Baiklah kalau begitu, akan ku atasi lelaki ini. Apa yang akan terjadi padaku? Padanya? Pada kami? Ku kesampingkan dulu. Yang penting adalah akan ku hadapi. Selanjutnya? Let’s see!

Aku masuk ke kelas dan kebingungan mencari tempat duduk. Akhirnya ku putuskan untuk duduk di depan bersama seorang wanita cantik bernama Syifa. Kami duduk di banjar ketiga baris pertama. Tak lama kemudian lelaki itu masuk, dengan temannya, mungkin. Entahlah. Dia duduk di banjar pertama baris pertama. Setelah kami duduk rapi, senior memasuki ruangan dan sialnya men-switch tempat duduk kami semua. “Kamu. Meitha ya? Duduknya sama Ahmat. Valdwi pindah sama Syifa.” Tebak siapa yang sengaja Tuhan satukan : aku dan lelaki menyebalkan itu.

Sekarang dia ada di sebelahku. Dia yang terus menunduk, dan aku yang sibuk memalingkan muka. “Ya sekarang kenalan dulu sama yang di sebelah kalian. Hafalin namanya, asal sekolah, dan nama ayahnya. Nanti kedepan sebangku-sebangku.”. Apa aku tidak salah dengar? Senior menyebalkan. “Siapa yang akan memulai percakapan ini?”, pikirku. Ku keluarkan selembar kertas. “Tulis aja data yang disuruh sama senior.”, pintaku padanya. Dia mengambil kertasnya dan berkata, “Udah gausah pake kertas. Nama kamu siapa?”

Begitulah sampai akhirnya aku tahu bahwa namanya adalah Ahmat Irfan Malik. Dari SMPN 3 Margahayu. Nama Ayahnya adalah Edison. Hanya itu kan yang perlu ku ketahui? Dia mencoba meyebutkan nama ayahku berkali-kali dan masih saja salah. Padahal ‘Rasmitha Surya Fathon’ tidak sesulit itu. Dia terlihat benar-benar kesusahan. Bukan bergurau. Dia menepuk pundakku, “Sekali lagi. Siapa namanya?”. “Rasmitha”, jawabku. Dia masih berusaha menyebutkan dan menghafalnya. Sungguh, ku harap dia tidak pernah membuatku muak sebelumnya

Kami semakin dekat. Sampai akhirnya aku memanggilnya ‘Abang’. Dia menganggapku adik. Kami  tetap dekat meski bangku telah di switch kembali oleh senior. Tiba suatu saat aku duduk di baris ketiga. Di depanku duduk dua orang lelaki. Mereka terlihat kaku. Tidak bicara satu sama lain sampai akhirnya ada bolpoin jatuh dan mereka berdua mengambilnya secara bersamaan. “Eh jari kamu item-item juga. Anak boxer juga ya?” Begitulah awal mereka bicara. Menjijikan, pikirku.

Tebak lagi! Dua lelaki di depanku itu akhirnya berkenalan denganku. Tidak tahu siapa yang memulai, tapi suasana sangat hangat. Mereka tidak se-menjijikan yang aku pikir. Haha. Oh ya. Namanya M. Mimbar Syawaldi Chaniago dan Ekky Setya Darmadi. Mereka berdua sama-sama mengikuti Tarung Drajat. Sama seperti Ahmat. Ketiga lelaki yang kukenal itu, sama-sama petarung. Mereka memiliki tubuh yang ideal dan tampang yang bisa dibilang memadai. Wanita satu kelas bilang aku beruntung, bahkan kelas lain. Padahal, tidak juga.

Dari kiri: Mimbar-Ahmat-Ekky. Abaikan yang palng kanan yang misah sendiri, dia Chris.

Malam innaugurasi tiba. Setiap kelas harus menampilkan pertunjukkan. Kami kehilangan akal. Senior yang pernah mendengarku bernyanyi, memintaku untuk tampil. Aku tidak percaya diri karena kelas lain menampilkan dangdutan. Aku bahkan tidak bisa bernyanyi dangdut. Aku menolak sampai akhirnya ada satu orang lelaki menghampiri, “Gapapa, kita tampil akustikan aja. Lagian kita penutup, gapapa beda dari yang lain. Aku yang gitarin.”. Senior menatapku, begitupun dia. “Oke.”, jawabku.

Kami briefing sebentar. Lalu tampil. Lagu butiran debu, saat itu. Semua terbawa suasana, bahkan senior kami menangis. Innaugurasi ini malam penghujung kami bersama. Ku kira wajar mereka bersedih. Penampilan kami berjalan lancar. Aku berterimakasih padanya karena sudah mengiringiku. Dia bilang bahwa dia tidak pernah keberatan. Begitulah awalnya aku mengenal satu lelaki lagi dalam hidupku. Lelaki terakhir yang melengkapi kami, melengkapi aku, Abang, Mimbar dan Ekky. Namanya Bayu Maulana Ismail.

Dari kiri: Ekky-Mimbar-Bayu-Ahmat

Bagaimana? Perkenalanku dengan mereka telah ditakdirkan, bukan? Berkenalan dengan lelaki yang kau anggap menyebalkan dan menjijikan bukan suatu kebetulan, menurutku. Namun aku bersyukur, bahkan sampai detik ini. Mengenal mereka, bersahabat dengan mereka, sungguh aku beruntung. Kali ini ku benarkan ucapan para wanita di luaran sana bahwa aku memang beruntung. Bukan karena ada lelaki-lelaki tampan mengelilingiku. Tapi karena, semua lelaki tampan itu justru berlaku konyol dan menjadi “tidak tampan” di hadapanku.

Pake topi: Ahmat. Sebelahnya: Bayu. Mimbar yang nyempil dibelakang haha

 
Kaos hitam: Ekky. Sebelahnya: Mimbar

Keadaan Riani, bersama empat sahabatnya, Zafran, Ian, Arial dan Genta menjadi sangat mirip dengan keadaanku. Satu wanita dan empat lelaki. Aku sangat paham bagaimana bahagianya Riani berada di antara mereka. Bagaimana hafalnya Riani atas makanan kesukaan semua sahabatnya itu, bagaimana nyamanya selalu di sayangi dan di lindungi oleh keempat lelaki pilihan Tuhan, yang selalu ada, mendengarkan, menghibur, memberikan bahunya meski hanya sekedar untuk aku tidur atau menangis.

Ketika film ini ku putar, sekali, dua kali, tiga kali, bayanganku pada mereka masih terus muncul. Sampai aku lupa sudah berapa kali aku mengulang film ini di laptopku karena merindukan mereka. Konflik dan masalah bermunculan di antara kami. Kami mencoba bertahan tapi keadaan memaksa kami untuk kehilangan. Satu, dua, tiga orang sampai akhirnya kami semua hanya sekedar mengenal. Bukan lagi kami yang berkumpul, bercerita, dan membicarakan bagaimana sadisnya manusia berubah. Kami punya janji. Janji untuk tetap sama. Dan janji itu adalah, janji yang sekarang sudah tergeletak tak bernyawa.

Readers, merindu itu menyakitkan, bukan? Bercerita tentang masa lalu seperti itu memang menyesakkan. Tapi, bagaimana rasanya jika yang kau rindukan adalah orang tua? Tempat tinggal? Negara mu? Akan lebih sakit, kurasa. Satu hal yang membuatku menjadi lebih kuat adalah saat mengetahui bahwa cobaan yang orang lain dapatkan, lebih berat dari apa yang ku dapatkan. Sebut saja satu film lagi, Merry Riana. Aku merasa lemah selama ini saat melihat perjuangan seorang Merry Riana. Sendirian, jauh dari orang tua, perbekalan minim, entah harus ke mana dan berbuat apa.



Kisah persahabatannya dengan Irene Lee juga sangat nyata. Mereka memperdulikan satu sama lain. Kehadiran Irene dalam film ini seperti malaikat penolong, namun tetap ada konflik. Tidak melulu baik, dan tidak pula melulu jahat. Aku dapat merasakan emosi dalam hubungan ini. Bahkan adegan mereka menyulut haru. Hebatnya, mereka bisa kembali bersama lagi setelah kecemburuan membutakan mata Irene. Begitu mungkin sahabat sejati. Akan tetap kembali sejauh apapun mencoba pergi.

Salah satu yang paling ku sukai, kisah Merry dan Alva. Foto mereka berdua terpampang di cover film ini, awalnya ku kira film ini tentang mereka. Ternyata dugaanku salah. Kisah cinta yang ada bukan mendominasi, namun melengkapi. Kisah cintanya sangat mahal, berkesan, bersahaja. Entah bagaimana rasanya mendapatkan sosok seperti Alva saat berada pada titik tersulit dalam hidup. Mungkin rasanya seperti menemukan toilet saat kau ingin buang air. Tepat. Lega. Tenang. Nyaman.

Over all, inti dari mengapa aku menyukai kedua film di atas, adalah karena kedua film itu menimbulkan kesan yang sangat dalam setelah aku selesai menontonnya. Terbayang-bayang. Film yang berhasil membuatku masuk ke dalamnya. Terlarut. Bahkan menangis. Dan keduanya adalah film buatan Indonesia, meskipun ada beberapa kekurangan dan kejanggalan di dalamnya, namun aku tidak mau berkilah, aku memang menikmatinya.

What is the message?
            Pertanyaan bagus. Setiap film, cerita, skenario, pasti memiliki maksud dan tujuan. Pasti ada pesan yang tersirat maupun langsung tersurat di dalamnya. Dari film 5cm, pesan yang aku dapatkan pertama adalah bagaimana cara bersahabat. Maksudku, kita semua pasti memiliki sahabat masing-masing. Lelaki atau wanita. Sedikit atau banyak. Sifat yang juga beragam, keadaan yang berbeda-beda. Perlakukanlah mereka sepantasnya, hormati ke-apa adanya-an mereka. Yang saat mereka menjadi apa adanya, itu berarti mereka sudah nyaman bersamamu. Jangan rusak kenyamanan itu.

            Selain itu 5cm juga mengajarkanku untuk mencintai tanah yang kita tempati, air yang kita minum, nafas yang kita hirup, dari kita lahir sampai saat ini. Mencintai dan menyayangi alam tidak sesulit itu, tergantung seberapa banyak kita mau berterimakasih atas apa yang alam beri secara gratis. Film ini juga mengajarkan masalah mimpi. “Jangan pernah berhenti untuk bermimpi”, “Dan bermimpi saja tidak akan pernah cukup. Sebuah impian memang seharusnya tidak perlu terlalu banyak di bicarakan,tetapi diperjuangkan.” Begitulah film ini menghipnotisku.



            Satu film lagi tentang “Mimpi Sejuta Dolar”. Merry Riana menyuguhkan pesan yang sangat gamblang. “I will fight till the end and never give up”. Tidakkah satu kalimat itu menjelaskan semuanya? Berjuang sampai akhir memang tugas setiap manusia, bukan? Selesaikan apa yang sudah kita mulai, dan jangan pernah menyerah untuk menyelesaikan semuanya. I wish that I could meet you, Merry.



Is it real or logic?
            Welcome to last question, okay let’s finish this! Untuk film 5cm, apakah itu nyata atau tidak? Film ini diambil dari novel dengan judul yang sama. Terinspirasi dari kisah nyata, dimana setiap tanggal 17 Agustus di sebagian besar puncak gunung di Indonesia, sering diadakan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan. Namun, cerita mengenai 5 sahabat ini adalah rekaan. Masuk akal atau tidak? Menurutku karena memang novel dan filmnya di ambil dari kiah nyata, jelas kisahnya masuk akal.

            Untuk film Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar, apakah nyata atau tidak? Sebetulnya memang ada kisah nyata tentang Merry Riana yang dijadikan novel oleh Alberthiene Endah, namun menurutku apa yang ditayangkan dalam film hanya “terinspirasi” dari kegigihan sosok Merry Riana, yang berhasil meraup satu juta dolar pertamanya di usia ke-26 setelah melewati masa sulit di Nanyang Technology University, Singapura. Karena dalam film, kisah Merry Riana disajikan dengan jalan cerita yang berbeda dengan novelnya, meskipun memiliki garis besar yang sama.
           
Dan apakah kisahnya logis atau tidak? Jawabannya adalah ya. Pertama karena sosok Merry Riana benar-benar ada, nyata, dan ceritanya pun ada berdasarkan pegalaman pribadinya. Kedua, memang benar semua menjadi mungkin saat kita mau berusaha keras, tidak pernah menyerah meski kesulitan dan kegagalan tiba begitu sering. Karena pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa usaha keras tidak akan pernah mengkhianati. Selamat menikmati proses!

2 komentar:

  1. Balasan
    1. wah.. baru di kasih tau bayu ini tetehnya ekky comment.haha malu, teh.. tapi makasih udah nyempetin baca hehe xD

      Hapus