Translate

Jumat, 09 Oktober 2015

Tulisanku Tentang Aku dan Psikologi



July 8th, 2015.
"Ky. Besok tuh cek hasil sbmptn di mana? Dari jam berapa udah bisa diceknya?"
"Jam 5 sore di web sbmptn.ac.id mei." message from Riky Gunawan, 9.10 P.M.
"Oke. Semoga lolos yaa!"
"Berdo'a aja semoga kita diterima. Aku keterima di Pendidikan Kimia, kamu di Sastra Inggris. Dan sama-sama di UPI. Aminnn. Besok kabarin aku ya Mei hasilnya." message from Riky Gunawan, 9.13 P.M.
"Amin. Tapi aku ga terlalu optimis sih, soalnya soshumnya gatau. tapi ya InsyaAllah. kamu juga kabarin aku yaa.."

July 9th, 2015.
"Ky udah?"
"Gabisa dibuka mei, error." message from Riky Gunawan, 6.35 P.M.
“Iya sama aku juga. Yauda tunggu bentar lagi kali ya..”
“MEI! AKU LOLOS ALHAMDULILLAH, DI PEND.KIMIA UPI!!” message from Riky Gunawan, 7.19 P.M.
“Eh iya ky selamat ya. Alhamdulillah, mamey juga lolos nih. Di psikologi tapi, bukan sastra Inggris :’) “
“Yaudah mei gapapa psikologi juga bagus ko. Ayo semangat! Selamat juga ya!” message from Riky Gunawan, 7.21 P.M.

Monday. August 24th, 2015. 6.35 P.M.
Hari ini tepat 46 hari sejak pengumuman SBMPTN Juli lalu. Dan besok masa orientasi akan dimulai. Everything’s gonna be fine. I hope.

Friday. August 28th, 2015. 8.05 P.M.
MOKA-KU berakhir. Ternyata tidak se-menyeramkan yang aku pikir. Bahkan hari ini, panitia mengundang Kang Emil untuk menjelaskan peran mahasiswa dalam menghadapi MEA. He’s really inspiring. See you next time, my mayor!

Tuesday. September 1st, 2015. 6.07 A.M.
Helloooo September! Ini hari pertamaku datang ke kampus sebagai mahasiswa. Bukan calon lagi. Biarpun sudah pernah bertemu dengan teman-teman satu angkatan Psikologi 2015, tetap saja aku merasa panik. Jangan buat hari ini buruk, ya! Semangat!

Friday. October 9th, 2015. 4.17 P.M.
Hi! Aku sedang mengetik di depan layar laptopku, mengerjakan tugas Sosiologi&Antropologi dari Kang Zein. Hmm.. Tugas ini membuat aku harus memutar-balikan otak dan memetakan semua peristiwa itu kembali ke dalam otakku. Untung aku senang menulis, banyak peristiwa penting yang kutulis setiap harinya. Panggil aku kuno. Karena aku masih senang menulis Diary. Haha tak apa. Aku tahu menulis sangat berguna. Terutama untuk tugas yang memerlukan flashback seperti ini. Itu sangat membantu. Jika tidak ada Diary-ku, tidak mungkin aku bisa menulis se-detail ini.

Bicara tentang pengalaman masuk Psikologi UPI, sejujurnya aku mengingat satu kekonyolan. Aku menyukai orang-orang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara dan tuna-tuna yang lain. Orang berkebutuhan khusus seperti itu membuat aku lebih peka dan sabar. Membuat aku bisa jauh lebih bersyukur atas segala hal yang selama ini aku keluhkan. Lain lagi dengan orang-orang yang menderita stress disorder dan psikopat, aku takut menghadapi mereka. Bisakah kalian tebak? Yap! Aku salah memilih jurusan. Seharusnya PKh atau PLB, bukan Psikologi.

Karena Psikologi bukan pilihan pertamaku, saat itu aku masih bisa santai meskipun aku paham betul bahwa ini kesalahan fatal. Aku telah mengatur segalanya untuk masuk Sastra Inggris UPI. Namun Tuhan berkata lain. Aku tidak lolos ke pilihan pertamaku dan masuk ke pilihan kedua. Jangan tanya lagi apa pilihan keduaku. Mataku membelalak saat membaca tulisan yang terpampang di website SBMPTN saat itu, “Selamat! Anda lolos Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia”. Kaget, kututup website itu. Takkan ku buka lagi.

Kecelakaan? Haha jika ku mau, bisa kusebut begitu. Tapi tidak. Aku tidak mau menyebut pemberian Tuhan ini sebuah kecelakaan. Is this my fate? Ya. Itu yang kuyakini terjadi padaku saat itu, saat ini, setiap harinya. Aku hanya boneka, kalian juga. Tuhan adalah satu-satnya yang memiliki skenario dan mampu merubahnya kapanpun Ia mau. Namun entah mengapa, aku selalu yakin bahwa sebaik-baiknya penulis skenario adalah Tuhan. Tak pernah takut dirugikan Tuhan, aku justru takut merugi karena tak menghambakan diri kepada-Nya. Once again, I do believe that He is the best scenario writer, everyone!
 
Setelah menerima apa yang disebut takdir, tugasku di depan sana sudah menunggu, melambai sambil tersenyum. Senyuman memuakkan, menyeramkan. Menyesuaikan diri. Hal yang sangat sulit menurutku. Menurut hasil ION’s Detection, aku adalah seseorang yang sangat berkomitmen dalam sebuah hubungan. Betul, kukira. Faktanya aku merasa sangat sulit move on dari keadaan SMA. Hubungan yang pernah ada sebagai satu “keluarga” di SMA, seperti jargon Psikologi UPI sekarang, membuat aku sulit membiasakan diri untuk tidak melihat mereka lagi setiap harinya.

Berada di antara mereka selalu membuatku tenang. Kalimat bahwa sekolah adalah tempat keluarga kedua berada itu benar, menurutku. Bukan sekedar kalimat pemanis untuk menenangkan para siswa baru. Entah hanya aku, atau ada siswa SMA lain, yang merasa bahwa masa-masa SMA itu sangat indah, penuh warna. Dan kalian tahu, bagaimana rasanya diputuskan saat sedang sangat jatuh cinta? Menyakitkan. Sesakit aku yang dipaksa sang waktu untuk harus berpisah dengan mereka.


Oh ya! Aku ingat mendapat hadiah. Satu paket kado terindah dari Tuhan, bertuliskan “Keluarga”. Dengan satu pria besar dan kuat, my protector, Papa. Satu wanita cantik, dengan rahim yang kokoh, hati yang kuat, senyum yang indah, my angel, Mama. Sudahkah? Belum. Ada satu orang lagi menyusul. Wanita mungil yang cantik, banyak bicara, tempat Tuhan menguji kesabaranku, my annoying lil’ sister. Jika kalian ingin tahu siapa yang membuat aku masih berjuang keras sampai detik ini, jawabannya adalah mereka.
Masih kuingat jelas senyum Mama saat aku, dengan ekspresi kecewa, menghampirinya. Mata Mama membulat, berbinar, menunggu anak sulungnya ini bicara apa yang membuatnya datang dengan ekspresi seburuk itu. “Ma, aku lolos SBMPTN. Di Psikologi, bukan Sastra Inggris.”. Mama tersenyum dan langsung memelukku. Aku belum paham apa maksud pelukan itu. Papa yang saat itu ada di ruang tamu langsung menghampiri kami, adikku memasang muka geli melihat kami berpelukan begitu lama.

Mama melepas pelukannya dan menatapku dalam-dalam, “Nak, makasih ya udah berhasil lolos SBMPTN, udah meringankan beban Mama dan Papa. Kita tau perjuangan teteh selama ini kaya gimana. Sampai nangis-nangis pengen pulang waktu lagi karantina pelatihan buat SBMPTN. Tapi semuanya ga sia-sia kan ya? Gapapa ga masuk Sastra Inggris juga, Psikologi lebih gampang kerjanya. Teteh pasti bisa. Jangan negative thinking dulu. Gausah berhenti suka Bahasa Inggris, psikolog yang mahir berbahasa inggris itu jadi target baru teteh.”.

Aku menatap Mama, lalu Papa. Aku tertawa. “Lebaaaaayyyy!”, adikku akhirnya bersuara. Keadaan begitu hangat. Rumah kami menjadi saksi bisu kebahagiaan keluarga kecil ini. Aku terlahir dari rahim seorang Ibu yang tepat. Ibu yang memiliki suami yang tepat pula. Ayah yang tepat untukku. Apakah adik yang tepat? Haha tentu saja. Se-menyebalkan apapun, dia tetap adikku. Jika aku terlahir lagi ke dunia ini untuk kedua kalinya, aku akan tetap memilih keluarga ini menjadi keluargaku.

Tunggu! Sekarang sudah pukul 6.56 P.M. Tugas ini, benar-benar. Aku merasa kembali ke masa-masa beberapa bulan yang lalu. Begitu cepat waktu berlalu, dan aku masih harus mencari 441 kata untuk bisa mem-post tulisan ini. Haha menyusun kata-kata begitu sulit. Menceritakan kembali juga sulit. Tapi mengingat, mengenang, tersenyum dan menangis karenanya, begitu mudah. Bahkan tanpa kita sadari, bayangan itu sering kali muncul dalam ingatan. Terimakasih  Kang Zein, esensi dari tugas ini benar-benar kuat, menurutku.

Sekarang, bicara tentang psikologi, maksudku kelas psikologi yang sudah aku hadiri setiap hari, mata kuliah yang ada di dalamnya, jujur aku mulai tertarik. Ingat ceritaku di awal bahwa aku tidak seharusnya masuk psikologi? Haha aku mulai melupakannya. Aku mulai jatuh cinta pada suasana kelas yang santai, namun serius dan kompetitif. Kami memahami satu sama lain. Mensubordinasikan diri agar dapat berbaur. Aku percaya orang psikologi cerdas-cerdas dalam bersikap. Mungkin aku belum termasuk kedalamnya, but I'm trying.

Anggap saja aku adalah orang awam yang masih belum tahu seperti apa psikologi itu. Atau orang awam yang baru saja tahu seperti apa sedikitnya psikologi yang “kata orang” bisa meramal. Sejujurnya, yang telah berhasil ku tangkap dari penuturan dosen-dosenku, psikolog bukan peramal. Ramalan itu jelas unscientific, pseudoscience. Sementara psikologi adalah science. Psikologi bertumpu pada data ilmiah, hasil penelitian. Jadi, pandangan tentang psikolog sama dengan peramal sudah bisa dirubah, ya?
Mengapa aku harus menjelaskan tentang ramalan dan psikologi? Ini berdasarkan pengalaman pribadiku. Mungkin pengalaman para mahasiswa baru psikologi di universitas lain juga. Di mana pun, menurutku. Mereka di luaran (baca: orang awam) berpikir kami bisa membaca pikiran, karakter, bahkan solusi dari kami atas curahan hati mereka dipercayai ampuh. Konyol, kurasa. Kami memang mendengar, memahami dan merasakan. Membuat client sebagai pasien menjadi relax memang salah satu pekerjaan kami. Tapi psikologi itu sangat luas, bukan hanya mengenai itu.

Ketika teman-temanku di SMA, sepupuku, dan orang-orang disekitarku tahu bahwa aku masuk Departemen Psikologi, mereka sangat tertarik. Mereka mencoba berbohong dan menerka apakah aku bisa mendeteksinya atau tidak. Mereka bercerita panjang lebar tentang masalahnya dan melihat seberapa tertariknya aku dan seberapa banyak yang bisa aku lakukan. Mereka benar-benar memposisikan diri sebagai pasien. Haha ini konyol. Tapi, ku-Amin-kan saja. Secara tidak langsung mereka mendo’akanku sebaga seorang psikiater, bukan?

Aku sedang menata hidup. Merasa sibuk. Ya, inilah maha. Maha-siswa. Tugas-tugas datang tanpa ampun. Belum lagi kegiatan kaderisasi. Sayang jika aku tak masuk kuliah. Sayang jika aku tak mengikuti proses kaderisasi. Aku mencoba menyemangati diriku sendiri setiap harinya. Lelah? Ya. Untuk pemula sepertiku, semuanya melelahkan. Namun senior-seniorku sampai sekarang masih sehat-sehat saja dan malah menambah aktivitas mereka dengan mengikuti banyak organisasi. Mereka contoh bagiku. Aku juga pasti bisa.

Well readers, berbicara ngalor-ngidul sepanjang ini memunculkan satu kesimpulan di otakku. Tentang aku dan psikologi. Aku saat ini, adalah seorang mahasiswa yang sedang mencoba menjabarkan pengalamanku dan mengaitkannya dengan 4 pandangan, teosentrisme, biologisme, antroposentrisme dan sosiologisme. Mengerjakannya berjam-jam, demi tugas, nilai. Tapi aku saat nanti, aku di masa depan, adalah aku yang rela mengerjakan lebih banyak lagi, lebih lama lagi, demi kesejahteraan umat. The well being of human being.

                                              Love,



Meitha Eka Pangestika, S.Psi wanna be

Tidak ada komentar:

Posting Komentar